Sabtu, 11 Desember 2010
Indah
Keindahan adalah : Kata-kata, perbuatan dan senyum, yang lembut dan sederhana.
Keelokan adalah : Hati yang seimbang, tertib, dan terpelihara.
Sabtu, 09 Oktober 2010
Mengalami
Ketika aku renungkan bahwa seisi alam tidak ada yang abadi, dan kehidupanku sendiri akan ada akhirnya,
lalu,
hal yang mungkin kurasakan paling bernilai dalam kehidupanku ini adalah 'mengalaminya'.
Mengalami kehidupan ini sangat tidak ternilai.
Ketika merenungkan, mengalami ada Engkau dikehidupanku, aku tidak tahu, apakah aku mau tersenyum atau menangis mengenangnya.
Sabtu, 11 September 2010
Idul Fitri
Kekasihku
Kata-kataku jauh dari halus. Sehalus apapun aku berucap, akan ada suara yang melukai hatimu.
Bijaksana, sungguh sebuah kata yang sangat asing bagiku. Sebijak apapun aku bertindak, justru ketidakbijakan yang sering merusak rasa riangmu.
Jiwamu terusik, hatimu masgul. Karena salah dan khilaf tidak pernah lepas dari laku dan kata ku.
Sedalam apapun aku berusaha, hatiku tak kan mampu memahami isi hatimu. Apalagi melihat akibat kata dan bekas luka yang kubuat. Mungkin, akan hanya tinggal sesal yang akan memberatkan hatiku.
Kalau ada kuperoleh kegembiraan hari ini, yang akan menenangkanku, itu karena hatimu yang memaafkanku.
Iya, Sayangku
Dengan hati yang mengharu biru ini, aku Mohon Maaf atas semua hal yang mengusik kebersahajaanmu.
Maafkan aku ya, Sayang.
Senin, 08 Maret 2010
Seputar Muria
Mungkin disini.
'Menara Kudus'
Atau disini.
'Masjid Demak'

Lupa.
Sabtu, 20 Februari 2010
Pita Penggaduh

Kedengarannya seperti di negara tetangga. Tapi ini di Bali, di sekitar lingkungan Fakultas Sastra, Universitas Udayana.
Mushalla Di Terminal Bis Sampit
Di pojok terminal bus Sampit ada mushalla kecil. Maghrib-nya ada jamaah kecil sekitar sepuluh orang. Tetapi jamaah di sini, kelihatannya, menikmati shalat dengan wirid-wirid setelahnya yang khas umum di serata Indonesia : membaca surat-surat al-Quran, ayat-ayat khusus dan asma Allah. Bacaan yang lazim juga dibacakan pada awal bacaan saat tahlilan yang umum. Kemudian imam mempersilakan salah seorang makmum memimpin pembacaan do’a-do’a umum, biasanya pula ada makmum yang khusus malakukan tugas itu, kemudian ada bacaan surat dan fatihah dilanjutkan lagi dengan pembacaan do’a, dipimpin langsung oleh imam sendiri, dengan do’a yang lebih singkat.
Masya Allah.
Pak Haji Anwar Diambil Orang
Ketika saya menanyakan dimana keberadaan Pak Haji Anwar. “Pak Haji diambil orang”, katanya. Tapi, meski tegas, nadanya biasa-biasa aja. Bagi telinga saya terdengar asing, tapi, pasti jawaban itu bukan ‘diambil’ yang saya maksud. Ya bukan. Mesti sesuatu yang lain.
Dengan sedikit membaca suasana dipastikan Pak Haji Anwar dijemput oleh seseorang untuk menghadiri acara selamatan di rumah seseorang itu. Tapi dijemput disini adalah pengertian undangan dalam bahasa agak sastera. Bukan berarti dijemput dalam pengertian bahasa media yang umum berarti “Diambil aparat”, “Dijemput orang ‘tak dikenal’”.
Jadi Pak Haji Anwar yang diambil orang itu sebetulnya, kita semua maklum, tidak “Diambil aparat”, tidak juga “Dijemput orang ‘tak dikenal’”. Dia di Sampit sedang membaca do’a keselamatan bagi kita semua. Amin.
Sore : Beting Sampit

Si Pian Di Palangkaraya
Di serata Kalimantan Tengah, dalam bahasa sehari-hari saya dipanggil orang dengan nama : “Pian”.
Agak kaget juga, kok nama saya Pian?
“Pian mau kemana?”. “Pian makan apa?. Itu sapaan yang umum. Tukang ojek, supir oplet, sampai pedagang makanan.
Iya, Pian. Pian, rupanya, singkatan dari “Sampean”. Saudara, anda, sama saja. Kalau di Makassar mungkin sama dengan “Boss”.
Sampean dengan “e” dibaca mendekati suara “i”. Selayaknya kebalikan bagi kata Indonesia yang “i” nya dibunyikan mendekati “e”, Endonesia. Lalu Sampian tadi disingkat lagi menjadi Pian.
“Ya”, jawab saya pada tukang ojek, “saya bukan Pian, Pian bisa antar saya ke terminal nggak.”
Cerita : Tukang Ojek Sampit
Sepanjang pesisir Kalimantan Tengah, kata dia, tukang ojek itu, semua orang asli adalah masyarakat dayak, mereka yang bermukim di sepanjang tepian sungai-sungai, mulai dari sungai Lamandau di sebelah barat hingga Barito di sebelah timur
Dia sendiri katanya ada darah dayaknya.
Dayak di sebalah barat rada gelap kulitnya, kalau dayak yang banyak kuning/putihnya yang gadisnya cukup terkenal itu ada di kawasan timur laut, hulu Barito.
Lalu, cerita minyak dayak. Minyak Dayak katanya, jika digosokkan pada alis mata, sekaligus dengan jari tengah dan jempol dari pusat kening ke arah pelipis. Niscaya orang tersebut akan dirasuk keinginan membunuh. Jika tidak segera membunuh sesorang ia akan menderita gatal-gatal pada seluruh tubuhnya. Gatal yang amat sangat, bahkan akan dapat membuat daging-daging yang melekat di sekujur tubuh terurai oleh penyakit itu. Maka membunuhlah.
Apabila sasaran yang dituju ada dalam serombongan atau kelompok orang, ia akan mampu membedakan sasaran dari orang lainnya kerumunan tersebut. Katanya lagi, dibedakan dari baunya, sesetengahnya lagi mengatakan dari penglihatannya. Ia akan melihat sasaran seolah-olah seekor sapi.
Kalau sasaran bersembunyi di semak-semak atau kebun atau ladang. Maka ia akan menaburkan beras kunyit, sambil memanggil-manggil sasaran, seperti petani akan memberikan makan ayam peliharaannya : “kuur, kuur, kuur.” Memanggil jiwa, katanya. Maka sasarn akan segera mendatangi pemanggil, datang segera dari tempat persembunyiannya.
Awalnya, kata sang ojek : “Ada spanduk mengklaim kota ‘Sampit’ sabagai kota kedua mereka. Dengan kekuatan-kekuatan yang mempersulit kehidupan masyarakat setempat.”
Hotel Rama yang sekarang berganti nama menjadi Hotel Asoka, menjadi tempat pusat kejadian-kejadian termasuk hutan kota di sekitar alun-alun Sampit. Beting sungai sepanjang jalan dari Arah Hotel Asoka ke arah utara, hingga Bandara H Asan, juga menjadi saksi bisu huru-hara awal 2000.
Hingga kini jalur ini terkesan tenang meski bagi sebagian orang sangat penuh kepedihan.
Yang jelas kata sang tukang ojek lagi : “Orang-orang yang kaya dapat segera menyelamatkan diri, tinggallah mereka yang tergolong miskin dan anak-anak yang tidak berdosa yang banyak menanggung penderitaannya.”
Saat ini, semuanya biasa-biasa saja. Hanya, kurang enak menceritakan hal-hal itu. Sangat perit, meski bagi seorang dayak tukang ojek sekalipun. Tapi begitupun, ojek semestinya harus jalan terus kata sang tukang ojek berfilsafat.
Sumber : Tukang ojek Sampit.
Lokasi : Terminal Sampit
Tak Bergeming
Kita tahu ada beberapa yang senang mengungkapkan dengan kata-kata : ”Tak bergeming,” untuk yang, menurut Kamus, seharusnya : “Bergeming.”
Bahasa adalah rasa kata-kata.
Jadi rasa bahasalah yang menjadi tekanan dalam pengucapan kata.
Mengucapkan : “Tak bergeming”, rasanya pas dan cukup banyak digunakan, dan Kamus mengatakan bergeming-lah yang benar.
Kata ‘alih-alih’ dalam posting Kelana Bahasa terdahulu memiliki rasa keterkejutan dan Kamus mengatakan, tidak usah terkejut, itu berarti kebalikannya.
Begitulah, ada unsur penghapusan lema dalam Kamus, satu contoh akan ditiadakannya kata “Perhati”. Pemutakhiran, perubahan, pengurangan dan penambahan, adalah hal yang biasa dalam bahasa.
Pada akhirnya, para penyusun Kamus, yang, mungkin, biasanya mengamati penggunaan kata-kata pada berbagai media, dapat menentukan mana yang benar dan mana yang salah dengan berbagai keahliannya. Namun, pengguna bahasa, kadang-kadang, menggunakan apa yang mereka rasa benar hanya dengan rasa.
Jika bahasa adalah rasa kata-kata. Tentu akan kita makan tanpa memikirkan arti kata yang sebenarnya : “Mak nyusss.”
Seharusnya masakan yang enaklah yang akan sering dikonsumsi. Lagipula, bukankah dalam hukum bahasa banyak ditemukan berbagai pengecualian yang dibolehkan, atau diperbolehkan.
Lalu, kita lanjut, ke Kelana Bahasa berikutnya.
Peace Man!



Damai dibumi.
Jalan Raya Pos (Groote Postweg)
Warisan Daendels di Pesisir Jawa. Oleh IGG Maha Adi. National Gegraphic Indonesia, November 2006. hal 104-115.
Herman Willem Daendels mendarat di Anyer 5 Januari 1808. Sebagai bagian dari salah satu tugasnya mempertahankan Jawa dari serbuan Inggris, ia memerintahkan pelebaran jalan di utara pulau Jawa.
Ruas jalan Anyer Cilegon ruas pertama yang dilebarkan hingga 7 meter.
Dari Cilegon membelok ke timur laut menuju alun-alun bekas Istana Sorosowan, Banten Lama.Banten Lama, Serang, Tangerang.
Daan Mogot, Pangeran Tubagus Angke, Gadjah Mada/Hayam Wuruk, Harmoni.
Weltrevreden (Gambir)
Waterlooplein (Lapangan Banteng)
Istana Weltervreden (RSPAD Gatot Subroto)
Asrama Tentara (Hotel Borobudur)
Koningsplein (taman raja, Lapangan Monas), dapat menampung 70.000 tentara berlatih.
Kantor baru di utara Lapangan Banteng (jadi Gedung Departemen Keuangan).
Gereja katolik pertama di Jakarta (terbakar pada kebakaran besar tahun 1828).
Senen, Manggarai.
Meester Cornelis (Jatinegara) barak, gudang senjata, pusat pendidikan militer.
Pusat artileri (Penjara Wanita Bukit Duri)
Palmeriam.
Depok, Cibinong, Bogor (Jl Raya Pajajaran) melalui kawasan Warung Jambu, Baranangsiang Tajur.
Daendels tinggal di Istana Gubernur Jenderal (Istana Bogor) dan memperluasnya.
Megamendung, perkebunan the milik Riemsdijk.
Jalur sulit. Di ruas Megamendung 500 pekerja tewas, tulis Nicolaus Engelhard (salah satu mantan Gubernur Jawa).
Cianjur, Padalarang, Bandung.
Tidak melewati ibukota Bandung.
Daendels memerintahkan Adipati Wiranatakusumah (penguasa Bandung) agar memindahkan ibukota Bandung yang ada di Krapyak (10 tahun di selatan) ke Kilometer 0, di depan Gedung Bina Marga, Jl Asia Afrika.
Jl Asia Afrika, Jl Jenderal Sudirman, Jl Jen Ahmad Yani, melalui Gedung Sate terus ke arah Cileunyi, Jatinangor.
Ciherang, menjelang Sumedang.
Bupati Sumedang Pangeran Kusumadinata IX atau Pangeran Kornel, mengadakan perlawanan. Banyak penduduk Sumedang tewas saat memapas cadas Ciherang. Ia mendatangi Daendels, menyalaminya dengan tangan kiri sambil tangan kanan memegang keris, sebagai tanda protes. Ruas Ciherang kini disebut Cadas Pangeran.
Di bawah (?seharusnya atas) jalan lama pemerintah sudah membuat jalan yang lebih landai yang keduanya bertemu di Desa Singkup (dari kata scoop atau sekop). Katanya saat itu sekop pertama kali diperkenalkan oleh Belanda.
Pada ruas ini di jalan agak mendatar sebelum puncak bukit ada Kampung Pamucatan, (sunda : tempat untuk melepaskan), pos pergantian kuda dan pelepasan kerbau beban.
Awalnya Jalan Raya Pos berakhir di Karang Sembung, 10 kilometer selatan Cirebon.Tanggal 5 Mei 1808 dalam perjalanan dari Bogor ke Semarang, Daendels memerintahkan para Bupati se Jawa meneruskan pembangunan Jalan Raya Pos tahap pertama Anyer Cirebon diteruskan sampai ke Jawa Timur.
Cirebon Semarang.
Di Semarang melewati Lawang Sewu (Kantor Pusat Jawatan Kereta Api Belanda), dan Jl Bojong (Jl Pemuda).
Waktu tempuh Semarang Batavia yang semula dua minggu dipersingkat menjadi 4 hari.
Jalan raya yang terutama sering digunakan sebagai jalan pengiriman pos antar kota di Jawa, didukung 1000 kuda dan pos pergantian tiap 10 kilometer, menyebabkan jalan ini di sebut Jalan Raya Pos.
Semarang
Gresik
Di Pati dan Demak jalan memotong Alun-alun Kota ditengahnya (mengubah tata kota dan kosmologi Jawa), menyurutkan kekuatan kosmis istana raja-raja. Di pecinan klenteng dibangun langsung menghadap air, sungai atau laut sebagai simbol kehidupan. Jalan yang diperlebar sebagai bagian jalan utama melalui tepat di depan klenteng. Klenteng Kwan Sing Bio, Tuban menghadap Jalan Raya Pos dan Laut Jawa.
Surabaya
Melalui kawasan jembatan merah, Jl Veteran terus ke selatan.
Penjara Kalisosok.
Wonokromo, Sidoarjo, Porong, Bangil, Pasuruan, Probolinggo, Kreaksaan, Besuki, Pasir Putih, Panarukan.
Bahasa Tulis
Hampir satu abad sebelumnya bahkan ditemui surat dari Sultan Abu Hayat dari Ternate yang disusun dan ditulis dalam bahasa dan tulisan Arab Melayu. Surat yang dibuat tahun 1521 dan 1522 ini ditujukan kepada raja Portugal. Dukumen ini (bagi wilayah Maluku?) dianggap sebagai dokumen pertama yang dikenal dalam tulisan Jawi.2)
1. Titik Pudjiastuti. Perang, Dagang, Persahabatan. Surat-Surat Sultan Banten, Jakarta. Yayasan Obor Indonesia, The Toyota Foundation, 2007.
2. Paramita R. Abdurachman. Bunga Angin Portugis Di Nusantara, LIPI, Yayasan Obor Indonesia. Jakarta 2008.
Minggu, 24 Januari 2010
Nyepi


Jembatan Cisokan



Kamis, 21 Januari 2010
Teluk Saleh, Sumbawa

Serang Batavia

Perjalanan di Jalur ini melewati kota tangerang yang kala itu sudah cukup berkembang. Selanjutnya melalui jalan Daan Mogot memasuki Jakarta, melalui Jalan Tubagus Angke sebagai jalan utamanya yang langsung menuju ke Pintu Kecil yang merupakan pinggir Markas VOC dan pusat kegiatan perekonomian Batavia.
Jalan Daan Mogot yang langsung menuju kawasan Harmoni, melalui Grogol, diakatakan juga sebagai bagian dari Jalan Raya Pos. Jalan itu mungkin sudah ada dan dikembangkan bersamaan pembangunan kawasan Gambir - Monas yang dikembangkan pada masa Daendels.
Setelah ratusan tahun dikembangkan, jalan raya Serang Jakarta ini cukup menanggung beban yang kian berat. Hampir di tiap pasar-pasar di tingkat kecamatan berlokasi di sepanjang jalan ini, selalu dipadati dengan angkutan umum. Industri-industri disekitarnya menambah beban dengan alat transportasi yang lebih besar. Jadilah ruas jalan ini sebagai bagian dari kemacetan yang tak henti sepanjang hari. Namun, bagi pengguna jalan yang bepergian antar kota di sepanjang jalur ini, penggunaan jalan tol Jakarta Merak merupakan pilihan sarana transportasi yang sangat membantu.
Alih-Alih
Ketika sedang melamun, alih-alih Lingga teringat seorang teman lamanya. Ya lamaaa sekali.
Dua puluh lima tahun yang lalu, seorang sahabat Lingga yang ahli bahasa, membahas “alih-alih” dengan Yus Badudu yang lebih ahli bahasa itu.
Teman : “Pak Badudu, ‘alih-alih’ itu bukan padanannya 'instead of' seperti yang bapak kemukakan itu Pak”.
Badudu : “Kok bisa?” sambil agak heran memandang teman saya yang sok ahli tadi.
Teman : “Menurut saya, pekerjaan (maksudnya mungkin kata kerja) yang disebutkan setelah kata ‘alih-alih’ itu, itulah yang terjadi. Tidak seperti ‘instead of’”.
Teman (masih terus) : “Alih-alih menangis, maksudnya ya orang itu menangis, bukan malah sebaliknya tidak menangis seperti yang diartikan pada kalimat ‘alih-alih menangis, ia tertawa’ yang artinya ia tertawa, ya kan?”
Badudu : “Dari mana kau tahu itu?”
Teman : “ Ya, dari saya Pak, dari bahasa ibu saya.”
Badudu : “Ah itu mungkin hanya dialek setempat. Tidak dapat diartikan bahasa Indonesia akan menerapkan hal itu.”
Teman : “Tapi Pak, ibu saya dari pulau-pulau Riau sana Pak, itu kan tempat ibunya bahasa Indonesia.”
Badudu (sambil agak bengong pada amatir bahasa itu) : “Tapi ‘alih-alih’ itu memang padanan kata ‘instead of’ dalam bahasa Inggeris.”
Lingga bengong aja.
Lalu, Badudu berlalu.
Lalu, Lingga jadi dikuliahi lebih lanjut oleh teman Lingga tadi.
“Alih-alih itu menunjukkan kejadian yang terjadi yang tidak diduga kejadiannya, yang kalau ada yang diharapkan, akan terjadi kejadian yang sesungguhnya yang akan bertentangan dengan yang diharapkan itu,” katanya.
“Si Ali alih-alih tertawa,” katanya lagi, dengan semangat lebih tinggi, “berarti, si Ali yang dalam situasi tidak harus tertawa, bahkan mungkin saat itu si Ali seharusnya menangis, tetapi ia malah tertawa seolah-olah tanpa sebab, yang agak aneh.”
Dia jadi lebih keras ketika Yus Badudu sudah tidak dihadapannya.
Alih-alih dalam pengertian teman saya tadi mungkin sepadan dengan kata kerja yang disebutkan sebelum kata ‘instead’ dalam bahasa Inggris, pikir Lingga. Jadi, mungkin : “A yang seharusnya tertawa, cry instead”. Jadi A menangis. Iya kan?
Nggak tau deh.
Yang jelas teman Lingga tadi. Akhirnya nggak tertawa, nggak menangis juga. Dia alih-alih diam termangu. (mungkin dia mau bilang begitu).
“Tapi”, kata Lingga, “Yus Badudu sesuai kamus lho?”
Begitulah, setelah itu, selama dua puluh lima tahun, Lingga selalu mengamati penggunaan kata ‘alih-alih’. Kayaknya kata ‘alih-alih’ jarang digunakan dalam bahasa ucap atau lisan kecuali oleh teman Lingga dan bahasa ibunya itu, barangkali. Dan juga orang-orang sedialek bahasa dengannya, tentu. Di media massa, kadang-kadang ada yang menggunakan, sesuai dengan pengertian Yus Badudu, juga ada, sekali-sekali, yang menggunakan sesuai dengan pengertian yang diguanakan teman Lingga tadi.
Tidak banyak memang yang menggunakannya. Sejauh ini, jumlah pengguna, yang sependapat dengan Yus Badudu (dan begitu juga pengertian dalam kamus-kamus) masih lebih unggul dari jumlah yang menggunakan sesuai dengan pengertian sobat Lingga. Telak juga sih.
Sepertinya, sesuai akhir penutupan kuliah bahasa oleh teman Lingga dua puluh lima tahun yang lalu itu, ia masih belum mau kalah rupanya, “Alih-alih,” katanya, “harus tetap seperti maunya ibu saya, dengan atau tanpa kamus”
Lho, kok? Ya, nggak apa-apa dah asal sama-sama ngerti.
Alih-alih Lingga teringat sesuatu. Siapa ya yang bisa bantu membahas : “Sebabnya”, “Soalnya”, “Pasalnya”, “Habisnya”.
Cilegon Serang Lewat Banten

Ta Marbutah?
Ini juga salah satu sebab mengapa Partai Amanat Nasional tidak diberi nama Partai Amanah Nasional, dan Kompas beranak judul Amanat Hati Nurani Rakyat.
Tetapi ada juga yang dialihbahasakan hanya dengan t, seperti : istirahat, hakikat, umat. Atau, hanya dengan h, seperti : mukadimah, musyawarah, majalah, masalah, nafkah. Tetapi, MPR kependekan dari Majelis Permusyawaratan Rakyat, bukan Majelis Permusyawarahan Rakyat, dan kita akan memusyawarahkannya bukan memusyawaratkannya.
Katanya sih begitu.
Dicuplik dari kolom Bahasa Kompas, 23 Nov 2007. oleh Jos Daniel Parera.
Tanjung Kelayang
Anyer, 5 Januari 1808


“0 KM, ANYER PANARUKAN, 1806 (?).

Suar Cikoneng

Pengembangan pembangunan sampai 200 tahun setelahnya, menggeser jalan tersebut kepada jalan yang ada sekarang. Kemudian ruas ini berlanjut hingga Cilegon. Pembangunan rel kereta api yang berpotongan dengan ruas jalan pada jalur jalan ini, juga menggeser letak asli jalan seperti kita temukan pada berbagai perpotongan jalan raya dan rel kereta api. Kira-kira begitu deh.

Sejak itu, perjalanan darat di Pulau Jawa mulai mengalami perubahan.
Lain Pulau Lain Artinya
Kata-kata dalam bahasa daerah di Belitung mirip dengan bahasa Indonesia baku tetapi ada perbedaan utama dalam penggunaan huruf yang sangat khas. Orang Belitung menggunakan huruf “I” pada kata dalam bahasa Indonesia yang menggunakan huruf “E”. Dan sebaliknya mereka menggunakan huruf “I” bagi kata yang menggunakan “E” dalam bahasa Indonesia.
Jadi “Bensin” pada bahasa Indonesia menjadi “Binsen” pada bahasa Belitung.
Pada gambar kampanye kebersihan berikut ini tulisan “De”, bermakna “Di”

Di Kalimantan Selatan bacaan huruf "E" tidak diubah. Mereka nyaris membuang sama sekali huruf “E”, dan begitu pula huruf “O”. Dalam bahasa Banjar sehari-hari hampir tidak terdengar huruf “E” atau “O” diucapkan. “E” menjadi “A”, dan “O” menyerupai “U”. “Kemana” jadi “Kamana”, dan “Motor” kedengarannya seperti “Mutur”. Kata “Pinter” yang agak keliru, diucapkan jadi jadi benar “Pintar”.
Lain lagi halnya di Sulawesi Selatan. Dialek di sana mengucapkan “N” dengan lafal “NG”, dan tulisan “NG” diucapkan seakan-akan “N”. Sehingga “Ikan goreng” dibahasakan “ikang goren”. “Kolang-kaling” dibaca seolah-olah “Kolan-kalin” dan “Jalan pada bolong” menjadi “Jalang pada bolon”.
Apa iya? Iya-lah.
Rabu, 20 Januari 2010
Rinjani
Foto ini seperti gambar yang ada pada uang rupiah pecahan Rp 5.000,00 tahun 1990
Lokasi di Plawangan Bayan, Lombok. Diperlukan perjalanan sehari penuh untuk mencapai lokasi. Tapi kata orang sepadan dengan pemandangannya.