Minggu, 24 Januari 2010

Nyepi

Malam sebelum Nyepi.

Ogoh-ogoh diarak-arak.Ketidakbaikan bergulat dengan kebaikan.

Kemudian semuanya dimusnahkan.



Setelah itu sebuah pulau melakukan Nyepi.

Siang malam, semadi.



Sayang, cuma sehari

Sungguh,

Hati ini sepi.

Setelah ditinggal amati.

Hari ini, hingga setahun ke depan, siapa yang pasti?

Jembatan Cisokan




Jembatan Cisokan, dari arah Cianjur menghubungkan Desa Pangturunan dan Kota Kecamatan Ciranjang. Mungkin pada awal abad 19 itu Pangturunan jauh lebih berpenghuni dari pada Ciranjang.

Pos pergantian kuda dan jembatan yang pernah dijadikan objek foto dan lukisan sudah tidak berbekas.



Pos Cisokan, sebelum 1880 (Woodbury & Page)

Dua jembatan yang lebih baru dibuat semakin ke atas. Jembatan pertama sudah tidak terpakai lagi, dan hanya bisa dilalui kendaraan beroda dua. Jembatan terbaru (1971) merupakan jembatan yang dipergunakan saat ini.








Jalan Raya Pos lama dari arah sungai menuju ciranjang, yang menyusuri tebing, sudah ada yang dimanfaatkan oleh penduduk setempat sebagai kolam ikan. Sebagian aspal bahkan hanya disisakan selebar jalan setapak dekat bahu jalannya sebagai tempat laluan sepeda motor.

Begitulah, Jembatan-Jembatan Di Jalan Raya Pos lama : mencari titik pada tebing yang paling berdekatan, sehingga akan didahului jalan berliku menyusuri tebing hingga biasanya mencapai posisi jarak tebing terdekat dan biasanya pula dekat ke permukaan air sungai, posisi bangunan jembatan didirikan tegak lurus tebing sungai. Jembatan yang lebih baru, biasanya asal jalannya bisa lebih lurus, dengan kemajuan teknologi, yang lain mengikuti.

Satu contoh lagi di jalur Cianjur Bandung ini adalah Jembatan Rajamandala.

Raja Ali Haji


Bahasa tidak meninggalkan raga.



Tidak. Pekuburan ini juga.

Kamis, 21 Januari 2010

Teluk Saleh, Sumbawa

Sumbawa, pulau berstepa dan berpanjang pantai.

Berkunjung di musim panas, memberi kesan kekerasan.Tapi, di beberapa tikungan dapat ditemui pemandangan yang mengesankan.



Pemandangan pantai ke arah Teluk Saleh


Serang Batavia

Jalan raya yang menghubungkan Serang ke Batavia, melalui Tangerang, merupakan jalan raya utama yang merupakan urat nadi perekonomian di kawasan ini.

Perjalanan di Jalur ini melewati kota tangerang yang kala itu sudah cukup berkembang. Selanjutnya melalui jalan Daan Mogot memasuki Jakarta, melalui Jalan Tubagus Angke sebagai jalan utamanya yang langsung menuju ke Pintu Kecil yang merupakan pinggir Markas VOC dan pusat kegiatan perekonomian Batavia.

Jalan Daan Mogot yang langsung menuju kawasan Harmoni, melalui Grogol, diakatakan juga sebagai bagian dari Jalan Raya Pos. Jalan itu mungkin sudah ada dan dikembangkan bersamaan pembangunan kawasan Gambir - Monas yang dikembangkan pada masa Daendels.

Setelah ratusan tahun dikembangkan, jalan raya Serang Jakarta ini cukup menanggung beban yang kian berat. Hampir di tiap pasar-pasar di tingkat kecamatan berlokasi di sepanjang jalan ini, selalu dipadati dengan angkutan umum. Industri-industri disekitarnya menambah beban dengan alat transportasi yang lebih besar. Jadilah ruas jalan ini sebagai bagian dari kemacetan yang tak henti sepanjang hari. Namun, bagi pengguna jalan yang bepergian antar kota di sepanjang jalur ini, penggunaan jalan tol Jakarta Merak merupakan pilihan sarana transportasi yang sangat membantu.

Alih-Alih


Ketika sedang melamun, alih-alih Lingga teringat seorang teman lamanya. Ya lamaaa sekali.

Dua puluh lima tahun yang lalu, seorang sahabat Lingga yang ahli bahasa, membahas “alih-alih” dengan Yus Badudu yang lebih ahli bahasa itu.

Teman : “Pak Badudu, ‘alih-alih’ itu bukan padanannya 'instead of' seperti yang bapak kemukakan itu Pak”.

Badudu : “Kok bisa?” sambil agak heran memandang teman saya yang sok ahli tadi.

Teman : “Menurut saya, pekerjaan (maksudnya mungkin kata kerja) yang disebutkan setelah kata ‘alih-alih’ itu, itulah yang terjadi. Tidak seperti ‘instead of’”.

Teman (masih terus) : “Alih-alih menangis, maksudnya ya orang itu menangis, bukan malah sebaliknya tidak menangis seperti yang diartikan pada kalimat ‘alih-alih menangis, ia tertawa’ yang artinya ia tertawa, ya kan?”

Badudu : “Dari mana kau tahu itu?”

Teman : “ Ya, dari saya Pak, dari bahasa ibu saya.”

Badudu : “Ah itu mungkin hanya dialek setempat. Tidak dapat diartikan bahasa Indonesia akan menerapkan hal itu.”

Teman : “Tapi Pak, ibu saya dari pulau-pulau Riau sana Pak, itu kan tempat ibunya bahasa Indonesia.”

Badudu (sambil agak bengong pada amatir bahasa itu) : “Tapi ‘alih-alih’ itu memang padanan kata ‘instead of’ dalam bahasa Inggeris.”

Lingga bengong aja.

Lalu, Badudu berlalu.

Lalu, Lingga jadi dikuliahi lebih lanjut oleh teman Lingga tadi.

“Alih-alih itu menunjukkan kejadian yang terjadi yang tidak diduga kejadiannya, yang kalau ada yang diharapkan, akan terjadi kejadian yang sesungguhnya yang akan bertentangan dengan yang diharapkan itu,” katanya.

“Si Ali alih-alih tertawa,” katanya lagi, dengan semangat lebih tinggi, “berarti, si Ali yang dalam situasi tidak harus tertawa, bahkan mungkin saat itu si Ali seharusnya menangis, tetapi ia malah tertawa seolah-olah tanpa sebab, yang agak aneh.”

Dia jadi lebih keras ketika Yus Badudu sudah tidak dihadapannya.

Alih-alih dalam pengertian teman saya tadi mungkin sepadan dengan kata kerja yang disebutkan sebelum kata ‘instead’ dalam bahasa Inggris, pikir Lingga. Jadi, mungkin : “A yang seharusnya tertawa, cry instead”. Jadi A menangis. Iya kan?

Nggak tau deh.

Yang jelas teman Lingga tadi. Akhirnya nggak tertawa, nggak menangis juga. Dia alih-alih diam termangu. (mungkin dia mau bilang begitu).

“Tapi”, kata Lingga, “Yus Badudu sesuai kamus lho?”

Begitulah, setelah itu, selama dua puluh lima tahun, Lingga selalu mengamati penggunaan kata ‘alih-alih’. Kayaknya kata ‘alih-alih’ jarang digunakan dalam bahasa ucap atau lisan kecuali oleh teman Lingga dan bahasa ibunya itu, barangkali. Dan juga orang-orang sedialek bahasa dengannya, tentu. Di media massa, kadang-kadang ada yang menggunakan, sesuai dengan pengertian Yus Badudu, juga ada, sekali-sekali, yang menggunakan sesuai dengan pengertian yang diguanakan teman Lingga tadi.

Tidak banyak memang yang menggunakannya. Sejauh ini, jumlah pengguna, yang sependapat dengan Yus Badudu (dan begitu juga pengertian dalam kamus-kamus) masih lebih unggul dari jumlah yang menggunakan sesuai dengan pengertian sobat Lingga. Telak juga sih.

Sepertinya, sesuai akhir penutupan kuliah bahasa oleh teman Lingga dua puluh lima tahun yang lalu itu, ia masih belum mau kalah rupanya, “Alih-alih,” katanya, “harus tetap seperti maunya ibu saya, dengan atau tanpa kamus”

Lho, kok? Ya, nggak apa-apa dah asal sama-sama ngerti.

Alih-alih Lingga teringat sesuatu. Siapa ya yang bisa bantu membahas : “Sebabnya”, “Soalnya”, “Pasalnya”, “Habisnya”.

Ulele, Desember 2004

Yang hening, mengharubiru .....

Ulele, Desember 2004

Cilegon Serang Lewat Banten


Jalan Raya Pos menghubungi Anyer hingga Serang tepat pada pusat kota, Alun-alun, Mesjid dan Pendopo Kota Cilegon saat ini.

“Dari Cilegon membelok ke timur laut menuju alun-alun bekas Istana Sorosowan, Banten Lama.”

Kira-kira, dari Cilegon Jalan Raya Pos, menyusuri jalan raya Cilegon Serang yang ada saat ini, kemudian membelok ke timur laut ketika mencapai Kota Kecamatan Kramatwatu. Kramatwatu hingga Banten lama jalan tersebut melewati Tasik Ardi, dan menyusuri sisi barat kota Banten Lama menuju Pecinan Lama dan Benteng Speelwijck.

Dari Tasik Ardi, ada juga jalan lurus yang menuju langsung ke Surosowan. Pada jalan yang sekarang berupa jalan tanah ini, dulu dibangun sejajar dengannya jalur air (semacam aquaduct) yang mengalirkan air dari Tasik Ardi untuk keperluan Istana Surosowan. Bukan tidak mungkin jalan ini juga merupakan jalan utama pada 1808.



Ada juga yang mengatakan Jalan Raya Pos dari Alun-alun Serang langsung mengarah ke Banten lama kea arah Benteng Speelwijck melalui dekat stasiun kereta api Kramatwatu. Jalan raya ini kemudian terpotong oleh pembangunan jalan tol, dan pengembangan infrastruktur jalan lainnya.
Kesultanan Banten pada tahun 1808 sudah berkembang selama hampir 300 tahun. Perkembangan kota dan jalan-jalan raya di sekitarnya telah lebih terbangun merata, tidak hanya di Kota Banten. Bahkan pada 1802 kota Serang telah berpenduduk lebih banyak dari penduduk yang ada di Kota Banten.
Sejak tahun-tahun awal 1800 inilah kerajaan dan Kota Banten mengalami penurunan, istana-istana dihancurkan Belanda, sultan-sultan dimakzulkan, VOC diganti dengan pemerintahan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Residen diperkenalkan, dan kemudian berkantor di Serang. Dengan segala pergolakannya yang tak henti, Banten kian memudar. Jalan Raya Pos yang melewatinya juga kehilangan keutamaannya.
Dari sisi timur Kota Banten Lama, Pelabuhan Benten yang utama (sekarang Pelabuhan Karang Antu) Jalan Raya Pos langsung menuju ke Selatan. Langsung pula menembus jantung Kota Serang di Alun-alun Kota.
Sepanjang ruas jalan yang penuh dengan situs-situs sejarah kejayaan Banten, terutama makam-makam para pengeran dan rajanya, sekarang tidak lagi merupakan jalan ekonomi utama. Ruas jalan dari Cilegon yang langsung menuju Serang lebih banyak dipergunakan sebagai jalur ekonomi. Pembangunan jalan Tol Merak Jakarta lebih mengurangai arti Jalan Raya Pos sebagaimana semula dimaksudkan pada saat pembangunannya.
Ya, kira-kira gitu deh.

Ta Marbutah?

Huruf ta yang disebut ta marbutah pada akhir kata dalam bahasa Arab dialihaksarakan menjadi h dan t dalam bahasa Indonesia. Pemilihan pengalihan kata dapat membarikan arti eksklusif (?) atau inklusif (?). Contoh : jemaah haji, jemaat Kristen, rumah ibadah, rumah ibadat, ibadah umrah, ibadat sabda, berkah, berkat.

Ini juga salah satu sebab mengapa Partai Amanat Nasional tidak diberi nama Partai Amanah Nasional, dan Kompas beranak judul Amanat Hati Nurani Rakyat.

Tetapi ada juga yang dialihbahasakan hanya dengan t, seperti : istirahat, hakikat, umat. Atau, hanya dengan h, seperti : mukadimah, musyawarah, majalah, masalah, nafkah. Tetapi, MPR kependekan dari Majelis Permusyawaratan Rakyat, bukan Majelis Permusyawarahan Rakyat, dan kita akan memusyawarahkannya bukan memusyawaratkannya.

Katanya sih begitu.

Dicuplik dari kolom Bahasa Kompas, 23 Nov 2007. oleh Jos Daniel Parera.

Tanjung Kelayang



Tanjung Kelayang, Belitung.




Kalau siang panasnya bukan main.Untuk yang suka pantai dan makanan laut, lumayan juga.

Anyer, 5 Januari 1808

Tertulis : “Herman Willem Daendels mendarat di Anyer 5 Januari 1808.”Berawal dari Anyer. Tepat dua ratus tahun yang lalu. Dari mana ia datang, dimana ia mendarat?










Lukisan Pantai Anyer (Charles William Meredith van de Velde, digambar antara tahun 1843 - 1845.





Anyer, saat ini merupakan kota Kecamatan Anyar, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Seperti kota tua lainnya, pemukiman didirikan di sekitar muara sungai. Pemukiman penduduk pada masa itu, barangkali hanya ada di sekitar muara sungai kecil di utara pasar Anyer saat ini. Di situ kini ada Kantor Pelabuhan, dan Tempat Pelelangan Ikan. Di bagian selatan pasar dibatasi pula oleh sebuah sungai yang lebih kecil lagi.





Pada bulan Januari 1808, laut selat Sunda tidak begitu tenang (seperti umumnya keadaan laut pada akhir hingga awal tahun berikutnya). Berkemungkinan besar Daendels mendarat dengan sekocinya di muara sungai ini, pada sebuah kampung kecil Anyer dan memulai perintahnya, melebarkan dan membangun jalan raya dari Anyer ke Panarukan. Ruas jalan Anyer Cilegon ruas pertama yang dilebarkan hingga 7 meter (7,5 meter).





Landmark Anyer ketika itu adalah sebuah Mercu Suar, 5,4 km di selatan perkampungan Anyer. Pasti sudah ada jalan mengarah ke Mercu Suar pada saat itu. Oleh sebab itu, mungkin, seolah ada kesepakatan (oleh siapa?) yang menyatakan bahwa Jalan Raya tersebut penghitungan awal pelaksanaannya berlokasi di tapak Mercu Suar tersebut. Mercu Suar ini sudah ada pada tahun 1883. Tetapi apakah ia sudah dibangun pada 1808?. (Ada yang bilang dibangun Portugis tahun 1802).





Perlu diingat bahwa semua bangunan di ruas jalan raya Anyer-Cilegon yang berbatasan atau dekat dengan laut, termasuk Menara Suar di selatan Anyer itu, musnah dilanda tsunami akibat meletusnya gunung Krakatau pada Agustus tahun 1883. Kalau membandingkannya dengan yang terjadi di Aceh 2004, tidak bisa dibayangkan akibatnya pada lingkungan jalur jalan ini. Karena, tsunami yang diakibatkan letusan krakatau, katanya, jauh lebih besar. Di bekas tapak mercu suar lama itulah dibuat sebuah tugu Kilometer 0, Anyer-Panarukan (dan diberi angka tahun 1806 (belum tahu tahun apa yang dimaksud?). (Disebelah tapak suar lama itu ada juga tapak fondasi suar sementara yang dibangun 1884, sebelum diganti dengan suar Cikoneng 1885 yang permanen).











“0 KM, ANYER PANARUKAN, 1806 (?).






”Kini, Mercu Suar “Cikoneng”, yang dibangun pada tahun 1885, 100 m di barat bekas fondasi mercu suar yang lama menjulang setinggi 61 meter, menjadi salah satu landmark Anyer. Begitupula, pembangunan dan tata ruang kota Anyer, disusun dan pembangunan selanjutnya dilakukan setelah musibah Agustus 1883 itu.










Suar Cikoneng






Dari fondasi Mercu Suar lama, KM 0, Jalan Raya Pos langsung mengarah ke Anyer. “Menyusuri dan mengamati jalan di perkampungan Anyer, boleh dikatakan bahwa jalur Jalan Raya Pos 1808, berada pada jalur jalan yang ada di tengah perkampungan itu (lihat peta) (apa iya?)”.








Pengembangan pembangunan sampai 200 tahun setelahnya, menggeser jalan tersebut kepada jalan yang ada sekarang. Kemudian ruas ini berlanjut hingga Cilegon. Pembangunan rel kereta api yang berpotongan dengan ruas jalan pada jalur jalan ini, juga menggeser letak asli jalan seperti kita temukan pada berbagai perpotongan jalan raya dan rel kereta api. Kira-kira begitu deh.





Sejak itu, perjalanan darat di Pulau Jawa mulai mengalami perubahan.




Lain Pulau Lain Artinya



Kata-kata dalam bahasa daerah di Belitung mirip dengan bahasa Indonesia baku tetapi ada perbedaan utama dalam penggunaan huruf yang sangat khas. Orang Belitung menggunakan huruf “I” pada kata dalam bahasa Indonesia yang menggunakan huruf “E”. Dan sebaliknya mereka menggunakan huruf “I” bagi kata yang menggunakan “E” dalam bahasa Indonesia.



Jadi “Bensin” pada bahasa Indonesia menjadi “Binsen” pada bahasa Belitung.



Pada gambar kampanye kebersihan berikut ini tulisan “De”, bermakna “Di”






Di Kalimantan Selatan bacaan huruf "E" tidak diubah. Mereka nyaris membuang sama sekali huruf “E”, dan begitu pula huruf “O”. Dalam bahasa Banjar sehari-hari hampir tidak terdengar huruf “E” atau “O” diucapkan. “E” menjadi “A”, dan “O” menyerupai “U”. “Kemana” jadi “Kamana”, dan “Motor” kedengarannya seperti “Mutur”. Kata “Pinter” yang agak keliru, diucapkan jadi jadi benar “Pintar”.



Lain lagi halnya di Sulawesi Selatan. Dialek di sana mengucapkan “N” dengan lafal “NG”, dan tulisan “NG” diucapkan seakan-akan “N”. Sehingga “Ikan goreng” dibahasakan “ikang goren”. “Kolang-kaling” dibaca seolah-olah “Kolan-kalin” dan “Jalan pada bolong” menjadi “Jalang pada bolon”.



Apa iya? Iya-lah.

Rabu, 20 Januari 2010

Rinjani


Foto ini seperti gambar yang ada pada uang rupiah pecahan Rp 5.000,00 tahun 1990









Lokasi di Plawangan Bayan, Lombok. Diperlukan perjalanan sehari penuh untuk mencapai lokasi. Tapi kata orang sepadan dengan pemandangannya.