Sabtu, 20 Februari 2010

Pita Penggaduh



Kedengarannya seperti di negara tetangga. Tapi ini di Bali, di sekitar lingkungan Fakultas Sastra, Universitas Udayana.

Polisi tidur yang tipis seperti pita diatur berjajar untuk mengejutkan pengendara agar berhati-hati.

Di jalan toll juga ada. Biasanya menjelang pintu toll.


Kalau ada kegaduhan yang membangunkan pengendara yang ngantuk setengah tidur, itulah dia Pita Penggaduh.

Mushalla Di Terminal Bis Sampit

Mushalla Terminal Sampit

Di pojok terminal bus Sampit ada mushalla kecil. Maghrib-nya ada jamaah kecil sekitar sepuluh orang. Tetapi jamaah di sini, kelihatannya, menikmati shalat dengan wirid-wirid setelahnya yang khas umum di serata Indonesia : membaca surat-surat al-Quran, ayat-ayat khusus dan asma Allah. Bacaan yang lazim juga dibacakan pada awal bacaan saat tahlilan yang umum. Kemudian imam mempersilakan salah seorang makmum memimpin pembacaan do’a-do’a umum, biasanya pula ada makmum yang khusus malakukan tugas itu, kemudian ada bacaan surat dan fatihah dilanjutkan lagi dengan pembacaan do’a, dipimpin langsung oleh imam sendiri, dengan do’a yang lebih singkat.


Masya Allah.

Pak Haji Anwar Diambil Orang

Pak Anwar diambil Orang.

Ketika saya menanyakan dimana keberadaan Pak Haji Anwar. “Pak Haji diambil orang”, katanya. Tapi, meski tegas, nadanya biasa-biasa aja. Bagi telinga saya terdengar asing, tapi, pasti jawaban itu bukan ‘diambil’ yang saya maksud. Ya bukan. Mesti sesuatu yang lain.

Dengan sedikit membaca suasana dipastikan Pak Haji Anwar dijemput oleh seseorang untuk menghadiri acara selamatan di rumah seseorang itu. Tapi dijemput disini adalah pengertian undangan dalam bahasa agak sastera. Bukan berarti dijemput dalam pengertian bahasa media yang umum berarti “Diambil aparat”, “Dijemput orang ‘tak dikenal’”.

Jadi Pak Haji Anwar yang diambil orang itu sebetulnya, kita semua maklum, tidak “Diambil aparat”, tidak juga “Dijemput orang ‘tak dikenal’”. Dia di Sampit sedang membaca do’a keselamatan bagi kita semua. Amin.

Sore : Beting Sampit

Bagi anak-anak.

Mandi sore, sesungguhnya, dan itu seharusnya, merupakan bagian hari yang sangat menyenangkan.



Mereka akan lebih menyadari hal itu. Tapi nanti, setelah senja diri.

Si Pian Di Palangkaraya

Pian Palangkaraya

Di serata Kalimantan Tengah, dalam bahasa sehari-hari saya dipanggil orang dengan nama : “Pian”.

Agak kaget juga, kok nama saya Pian?

“Pian mau kemana?”. “Pian makan apa?. Itu sapaan yang umum. Tukang ojek, supir oplet, sampai pedagang makanan.

Iya, Pian. Pian, rupanya, singkatan dari “Sampean”. Saudara, anda, sama saja. Kalau di Makassar mungkin sama dengan “Boss”.

Sampean dengan “e” dibaca mendekati suara “i”. Selayaknya kebalikan bagi kata Indonesia yang “i” nya dibunyikan mendekati “e”, Endonesia. Lalu Sampian tadi disingkat lagi menjadi Pian.

“Ya”, jawab saya pada tukang ojek, “saya bukan Pian, Pian bisa antar saya ke terminal nggak.”

Cerita : Tukang Ojek Sampit

Tukang Ojek Sampit

Sepanjang pesisir Kalimantan Tengah, kata dia, tukang ojek itu, semua orang asli adalah masyarakat dayak, mereka yang bermukim di sepanjang tepian sungai-sungai, mulai dari sungai Lamandau di sebelah barat hingga Barito di sebelah timur

Dia sendiri katanya ada darah dayaknya.

Dayak di sebalah barat rada gelap kulitnya, kalau dayak yang banyak kuning/putihnya yang gadisnya cukup terkenal itu ada di kawasan timur laut, hulu Barito.

Lalu, cerita minyak dayak. Minyak Dayak katanya, jika digosokkan pada alis mata, sekaligus dengan jari tengah dan jempol dari pusat kening ke arah pelipis. Niscaya orang tersebut akan dirasuk keinginan membunuh. Jika tidak segera membunuh sesorang ia akan menderita gatal-gatal pada seluruh tubuhnya. Gatal yang amat sangat, bahkan akan dapat membuat daging-daging yang melekat di sekujur tubuh terurai oleh penyakit itu. Maka membunuhlah.

Apabila sasaran yang dituju ada dalam serombongan atau kelompok orang, ia akan mampu membedakan sasaran dari orang lainnya kerumunan tersebut. Katanya lagi, dibedakan dari baunya, sesetengahnya lagi mengatakan dari penglihatannya. Ia akan melihat sasaran seolah-olah seekor sapi.

Kalau sasaran bersembunyi di semak-semak atau kebun atau ladang. Maka ia akan menaburkan beras kunyit, sambil memanggil-manggil sasaran, seperti petani akan memberikan makan ayam peliharaannya : “kuur, kuur, kuur.” Memanggil jiwa, katanya. Maka sasarn akan segera mendatangi pemanggil, datang segera dari tempat persembunyiannya.

Awalnya, kata sang ojek : “Ada spanduk mengklaim kota ‘Sampit’ sabagai kota kedua mereka. Dengan kekuatan-kekuatan yang mempersulit kehidupan masyarakat setempat.”

Hotel Rama yang sekarang berganti nama menjadi Hotel Asoka, menjadi tempat pusat kejadian-kejadian termasuk hutan kota di sekitar alun-alun Sampit. Beting sungai sepanjang jalan dari Arah Hotel Asoka ke arah utara, hingga Bandara H Asan, juga menjadi saksi bisu huru-hara awal 2000.

Hingga kini jalur ini terkesan tenang meski bagi sebagian orang sangat penuh kepedihan.

Yang jelas kata sang tukang ojek lagi : “Orang-orang yang kaya dapat segera menyelamatkan diri, tinggallah mereka yang tergolong miskin dan anak-anak yang tidak berdosa yang banyak menanggung penderitaannya.”

Saat ini, semuanya biasa-biasa saja. Hanya, kurang enak menceritakan hal-hal itu. Sangat perit, meski bagi seorang dayak tukang ojek sekalipun. Tapi begitupun, ojek semestinya harus jalan terus kata sang tukang ojek berfilsafat.

Sumber : Tukang ojek Sampit.
Lokasi : Terminal Sampit

Tak Bergeming

Tak Bergeming

Kita tahu ada beberapa yang senang mengungkapkan dengan kata-kata : ”Tak bergeming,” untuk yang, menurut Kamus, seharusnya : “Bergeming.”

Bahasa adalah rasa kata-kata.
Jadi rasa bahasalah yang menjadi tekanan dalam pengucapan kata.
Mengucapkan : “Tak bergeming”, rasanya pas dan cukup banyak digunakan, dan Kamus mengatakan bergeming-lah yang benar.

Kata ‘alih-alih’ dalam posting Kelana Bahasa terdahulu memiliki rasa keterkejutan dan Kamus mengatakan, tidak usah terkejut, itu berarti kebalikannya.

Begitulah, ada unsur penghapusan lema dalam Kamus, satu contoh akan ditiadakannya kata “Perhati”. Pemutakhiran, perubahan, pengurangan dan penambahan, adalah hal yang biasa dalam bahasa.

Pada akhirnya, para penyusun Kamus, yang, mungkin, biasanya mengamati penggunaan kata-kata pada berbagai media, dapat menentukan mana yang benar dan mana yang salah dengan berbagai keahliannya. Namun, pengguna bahasa, kadang-kadang, menggunakan apa yang mereka rasa benar hanya dengan rasa.

Jika bahasa adalah rasa kata-kata. Tentu akan kita makan tanpa memikirkan arti kata yang sebenarnya : “Mak nyusss.”

Seharusnya masakan yang enaklah yang akan sering dikonsumsi. Lagipula, bukankah dalam hukum bahasa banyak ditemukan berbagai pengecualian yang dibolehkan, atau diperbolehkan.

Lalu, kita lanjut, ke Kelana Bahasa berikutnya.