18 Oktober 2012
Umat Islam di dunia dipersatukan agama. Di bulan-bulan Haji berkumpullah Muslim dari Afrika Barat, Afrika Utara, Mesir, Afrika Timur, Yaman atau Hadrim, Arab Teluk, Lebanon, Syria, Turki, Iran dan Irak, asia Tengah dan negara-negara bekas USSR, China, Afghan, anak benua Asia, dan Asia Tenggara. Bersama Muslim semua negara lainnya berhimpun di seputar Makkah-Madinah. Pengamat, tidak perlu terlalu jeli, akan dapat melihat jelas bagaimana himpunan itu berkelompok-kelompok menurut negara masing-masing, khas, dengan gaya dan bahasa masing-masing. Semuanya berkumpul dalam kelompok-kelompok, dalam satu kelompok besar. Kendala utama, bahasa. Bahasalah yang mempersatukan manusia dalam kelompok-kelompok itu.
Tapi, meski bahasa mempersatukan manusia, kelompok-kelompok tadi masih terpecah-pecah lagi dalam kelompok-kelompok kecil. Kalau dari Indonesia, Kelompok Terbang, Kloter.
Dalam Kloter, berkumpullah orang-orang sesifat yang bercocok-cocokan tabiat, dalam kelompok kecil-kecil lagi. Selama musim ini akan kita lihat, ribuan orang-orang seperti ini. Dan setelah musim Haji, kembali ke kampungnya masing-masing melanjutkan hidupnya sendiri-sendiri, di dunia nafsi-nafsi. Jarang yang melanjutkan bersilaturrahmi kembali, apalagi bersahabat sampai mati. Kecuali beberapa gelintir yang sudah sehati.
Begitulah.
Jamaah dipersatukan Islam, tetapi masing-masing longgar terpisah, berdiri sendiri-sendiri.
Salah satu kelompok Jamaah yang paling ketara adalah orang dari negara Yaman, yang kadang disebut "Hadrim," untuk menjelaskan asal Hadramaut. Kalau berjalan, berkelompok dua, tiga atau empat, bahkan lima orang. Terlihat akrab, sering para lelaki Yaman itu berjalan saling pimpin. Perawakan dan wajahnya khas, rata-rata hampir serupa. Meski diamati dengan seksama, tetap aja terlihat sama, serupa. Susah membedakannya.
Suatu saat, ketika sedang duduk tepekur tidak tahu mau berbuat apa di Masjid Nabi (betapa bodoh dan lalainya), tiga orang Yaman duduk ngebruk di sebelah kami. Salah seorang, yang sepertinya yang diutamakan diantara ketiga orang itu, menggelar Al-Qur'an di atas sebuah rehal, dan mulai membaca. Rekan-rekannya, yang patuh bagai mursyid, menyimak.
Tiga Orang Yaman
Kami minta ia membaca dengan suara agak sedikit keras agar kamk dapat ikut mendengar. Sesuatu yang tidak biasa di Masjid itu. Tapi ya, tidak apa-apa, bukankah suasana masih agak sepi dan waktu Shalat masih cukup lama. Lalu kami membuka sebuah Al-Qur'an lain dan ikut menyimak orang Yaman itu membaca Surah Azzumar.
Dengan penuh semangat, ia membaca, bacaannya cepat lancar, sambil sekali-sekali jeda, bagai guru, memberikan penjelasan apa yang dibacanya, pada rekan-rekannya dan pada kami juga, yang kami hanya dapat mengira-kira artinya. Bagaimana bacaan, qira'at, menurut istilah dia, berbeda dengan bahasa yang seharusnya, bagaimana cerita lanjut dari isi Surah yang dibacanya. Dan seterusnya. Kamk hanya mengira-ngira. Dia memang lebih mengetahui apa yang dibacanya.
Bacaan berlanjut dengan lancar, tentu saja, dia berbahasa Arab. Hanya saja, meski kami mengerti bacaannya (bukan artinya), dialeknya agak asing di telinga kamo. Rekan-rekannya menyimak. Kami menyimak sambil belajar.
Bacaan berlanjut dengan lancar. Ke Surah berikutnya, ke Surah berikutnya. Sampai suatu ketika ia menyingkirkan rehalnya ke samping, dan seketika, seolah memerintahkan rekan-rekannya sambil menekan kuduk mereka untuk bersujud. Kami pun dengan tergagap mengikuti lirikannya, yang juga bagai perintah itu, bersujud. Sujud kamk tak berbaca, sujud hanya kepada Allah.
Selesai sujud, ia memberi penjelasan sambil menunjukkan tanda yang ada di Al-Qur'an. Oo begitu, ini, kureka, inilah yang mungkin disebut sujud Syahwi itu (Belakangan kami google, barulah jelas, ya itu salah satu ayat sajadah, ayat 37 Surah Fushshilat, dan sujud itu sujud tilawah, betapa awamnya diri ini).
Ia melanjutkan bacaannya terus ke Surah-Surah berikutnya. Masih dengan bacaan bersemangat, dan kami yang menyimak juga tak surut semangat. Kami sangat terkesan dengan kesungguhannya.
Setelah berlanjut sementara waktu, jamaah Masjid bertambah, semakin ramai, waktu shalat mendekat. Orang-orang sekitar dalam kepadatan jamaah, yang tidak begitu mau mendengar, mulai gerah, masing-masing punya kesibukan ibadah sendiri, bukankah Masjid ini milik bersama. Dan ada yang bahkan berani menegur dan menasehatkan dengan halus untuk sedikit munurunkan suaranya, seperti umumnya jamaah yang lain yang sedang menekuni Al-Qur'annya masing-masing dengan tenang.
Kesukaan hati menyimak mulai berkurang, kemudian semua diselamatkan kumandang azan. Lalu, masing-masing, benar-benar sibuk dengan kegiatannya masing-masing.
Begitu?
Subhanallah.
Keesokan harinya, ketika kami mencoba mencari orang-orang Yaman kemarin itu, semua nampak sama. Ketika kami salami seseorang yang kami kira dia, orang tersebut terheran-heran dan mungkin mengira kami malaikat atau setan penggoda. Kami pun turut heran. Kok begini. Mereka serupa, bahkan yang paling mirip pun bukan dia. Di lautan manusia serupa ini, kami tahu kami tidak akan dapat menemuinya untuk kedua kali. Dan memang benar, kami tidak menemukannya lagi.
Kami masih terus mencari orang Yaman itu.
Samingan
Orang Yaman kami cari-cari, Samingan yang kami temui. Ia sedang duduk dekat warung teh susu. Sambil menunggu waktu mulai kerja di Masjid.
Ya, Samingan TKI, bergaji tiga juta. Agak murung dengan gaji itu, tapi merasa beruntung dapat beribadah, karena bekerja di tanah haram.
Ketika kami berpisah, kami tahu juga, bagai orang Yaman itu, itulah mungkin kali terakhir kami bertemu Samingan.
Hai orang Yaman, dan Samingan, warahmatullahiwabarakatuh. Itu salam gaib kami.
Salam kami juga untuk orang Pakistan tak bernama ini, yang pijatannya lembut melegakan, yang ceritanya tidak kami tulis di sini, yang, meski bersungguh-sungguh, kami cari-cari setelahnya, juga, tidak pernah terlihat lagi.
Salam, untuk semua, warahmatullah wabarakatuh.
Bahasa mempersatukan manusia, kelompok-kelompok tadi masih terpecah-pecah lagi dalam kelompok-kelompok kecil, kalau dari Indonesia, Kelompok Terbang, Kloter.
Dalam Kloter, berkumpullah orang-orang sesifat yang bercocok-cocokan tabiat, dalam kelompok kecil-kecil lagi. Selama musim ini akan kita lihat, ribuan orang-orang seperti ini. Dan setelah musim Haji, kembali ke kampungnya masing-masing melanjutkan hidupnya sendiri-sendiri, di dunia nafsi-nafsi. Jarang yang melanjutkan bersilaturrahmi kembali, apalagi bersahabat sampai mati.
Kecuali beberapa gelintir yang sudah sehati.
Begitulah.
18 Oktober 2012.
18 Oktober 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar