Kamis, 21 Januari 2010

Tanjung Kelayang



Tanjung Kelayang, Belitung.




Kalau siang panasnya bukan main.Untuk yang suka pantai dan makanan laut, lumayan juga.

Anyer, 5 Januari 1808

Tertulis : “Herman Willem Daendels mendarat di Anyer 5 Januari 1808.”Berawal dari Anyer. Tepat dua ratus tahun yang lalu. Dari mana ia datang, dimana ia mendarat?










Lukisan Pantai Anyer (Charles William Meredith van de Velde, digambar antara tahun 1843 - 1845.





Anyer, saat ini merupakan kota Kecamatan Anyar, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Seperti kota tua lainnya, pemukiman didirikan di sekitar muara sungai. Pemukiman penduduk pada masa itu, barangkali hanya ada di sekitar muara sungai kecil di utara pasar Anyer saat ini. Di situ kini ada Kantor Pelabuhan, dan Tempat Pelelangan Ikan. Di bagian selatan pasar dibatasi pula oleh sebuah sungai yang lebih kecil lagi.





Pada bulan Januari 1808, laut selat Sunda tidak begitu tenang (seperti umumnya keadaan laut pada akhir hingga awal tahun berikutnya). Berkemungkinan besar Daendels mendarat dengan sekocinya di muara sungai ini, pada sebuah kampung kecil Anyer dan memulai perintahnya, melebarkan dan membangun jalan raya dari Anyer ke Panarukan. Ruas jalan Anyer Cilegon ruas pertama yang dilebarkan hingga 7 meter (7,5 meter).





Landmark Anyer ketika itu adalah sebuah Mercu Suar, 5,4 km di selatan perkampungan Anyer. Pasti sudah ada jalan mengarah ke Mercu Suar pada saat itu. Oleh sebab itu, mungkin, seolah ada kesepakatan (oleh siapa?) yang menyatakan bahwa Jalan Raya tersebut penghitungan awal pelaksanaannya berlokasi di tapak Mercu Suar tersebut. Mercu Suar ini sudah ada pada tahun 1883. Tetapi apakah ia sudah dibangun pada 1808?. (Ada yang bilang dibangun Portugis tahun 1802).





Perlu diingat bahwa semua bangunan di ruas jalan raya Anyer-Cilegon yang berbatasan atau dekat dengan laut, termasuk Menara Suar di selatan Anyer itu, musnah dilanda tsunami akibat meletusnya gunung Krakatau pada Agustus tahun 1883. Kalau membandingkannya dengan yang terjadi di Aceh 2004, tidak bisa dibayangkan akibatnya pada lingkungan jalur jalan ini. Karena, tsunami yang diakibatkan letusan krakatau, katanya, jauh lebih besar. Di bekas tapak mercu suar lama itulah dibuat sebuah tugu Kilometer 0, Anyer-Panarukan (dan diberi angka tahun 1806 (belum tahu tahun apa yang dimaksud?). (Disebelah tapak suar lama itu ada juga tapak fondasi suar sementara yang dibangun 1884, sebelum diganti dengan suar Cikoneng 1885 yang permanen).











“0 KM, ANYER PANARUKAN, 1806 (?).






”Kini, Mercu Suar “Cikoneng”, yang dibangun pada tahun 1885, 100 m di barat bekas fondasi mercu suar yang lama menjulang setinggi 61 meter, menjadi salah satu landmark Anyer. Begitupula, pembangunan dan tata ruang kota Anyer, disusun dan pembangunan selanjutnya dilakukan setelah musibah Agustus 1883 itu.










Suar Cikoneng






Dari fondasi Mercu Suar lama, KM 0, Jalan Raya Pos langsung mengarah ke Anyer. “Menyusuri dan mengamati jalan di perkampungan Anyer, boleh dikatakan bahwa jalur Jalan Raya Pos 1808, berada pada jalur jalan yang ada di tengah perkampungan itu (lihat peta) (apa iya?)”.








Pengembangan pembangunan sampai 200 tahun setelahnya, menggeser jalan tersebut kepada jalan yang ada sekarang. Kemudian ruas ini berlanjut hingga Cilegon. Pembangunan rel kereta api yang berpotongan dengan ruas jalan pada jalur jalan ini, juga menggeser letak asli jalan seperti kita temukan pada berbagai perpotongan jalan raya dan rel kereta api. Kira-kira begitu deh.





Sejak itu, perjalanan darat di Pulau Jawa mulai mengalami perubahan.




Lain Pulau Lain Artinya



Kata-kata dalam bahasa daerah di Belitung mirip dengan bahasa Indonesia baku tetapi ada perbedaan utama dalam penggunaan huruf yang sangat khas. Orang Belitung menggunakan huruf “I” pada kata dalam bahasa Indonesia yang menggunakan huruf “E”. Dan sebaliknya mereka menggunakan huruf “I” bagi kata yang menggunakan “E” dalam bahasa Indonesia.



Jadi “Bensin” pada bahasa Indonesia menjadi “Binsen” pada bahasa Belitung.



Pada gambar kampanye kebersihan berikut ini tulisan “De”, bermakna “Di”






Di Kalimantan Selatan bacaan huruf "E" tidak diubah. Mereka nyaris membuang sama sekali huruf “E”, dan begitu pula huruf “O”. Dalam bahasa Banjar sehari-hari hampir tidak terdengar huruf “E” atau “O” diucapkan. “E” menjadi “A”, dan “O” menyerupai “U”. “Kemana” jadi “Kamana”, dan “Motor” kedengarannya seperti “Mutur”. Kata “Pinter” yang agak keliru, diucapkan jadi jadi benar “Pintar”.



Lain lagi halnya di Sulawesi Selatan. Dialek di sana mengucapkan “N” dengan lafal “NG”, dan tulisan “NG” diucapkan seakan-akan “N”. Sehingga “Ikan goreng” dibahasakan “ikang goren”. “Kolang-kaling” dibaca seolah-olah “Kolan-kalin” dan “Jalan pada bolong” menjadi “Jalang pada bolon”.



Apa iya? Iya-lah.

Rabu, 20 Januari 2010

Rinjani


Foto ini seperti gambar yang ada pada uang rupiah pecahan Rp 5.000,00 tahun 1990









Lokasi di Plawangan Bayan, Lombok. Diperlukan perjalanan sehari penuh untuk mencapai lokasi. Tapi kata orang sepadan dengan pemandangannya.

Sabtu, 30 Mei 2009

Anak Adam


"Kacang polong rebus dimasak dengan api dari batang kacang polong, kacang polong dalam belanga menangis, 'Kita berasal dari akar yang sama, mengapa kita begitu bernafsu untuk saling menyiksa?'" Cao Zhi

Wu Yuan, Ill Wang Jiaxun, "Mutiara Dari Negeri China 4", GPU, Feb 2009, 164.

Kamis, 30 April 2009

Tuo Mian Zi Gan


Lou Shide dari Dinasti Tang (618-907) pernah memangku berbagai jabatan dalam pemerintahan selama kariernya. Ia sangat berjiwa besar, ketika seseorang menyinggung persaannya, ia akan menghindari konfrontasi dan tidak pernah kehilangan kesabaran.
Ketika adik laki-lakinya ditunjuk sebagai gubernur Dai Zhou dan menyambanginya untuk berpamitan, Lou Shide mengajarkan pada adiknya tentang pentingnya toleransi.
Adiknya berkata, "Jika seseorang meludahi wajahku, aku hanya akan menyekanya dan membiarkan masalah tersebut." Shide menambahkan, "Itu belum sepenuhnya bertoleransi. Ketika kau menghapus air ludah itu, kau belum memberi orang tersebut kesempatan untuk melepaskan amarahnya. Seharusnya kau biarkan air ludah itu mengering dengan sendirinya."

Mutiara dari Negeri China 3. Wu Yuan. Illustrasi oleh : Wang Jiaxun. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2009.

Senin, 20 April 2009

Ya Allah


bagaimana aku akan memuji Allah?
memuji makhluknya saja aku gerah
memuji diri sendiri tak pernah aku lengah
bagaimana aku akan memuji Allah?

bagaimana kau akan bersyukur kepada Allah?
yang kuperoleh melalui makhluknya aku minta tambah
yang kumiliki mencukupi tak pernah
bagaimana aku akan bersyukur kepada Allah?

bagaimana aku akan membesarkan Allah?
seluruh makhluknya masih saja terlihat rendah
yang hatiku merasa besar, selalu gundah
bagaimana aku akan membesarkan Allah?

Masya Allah

bagaimana aku akan mencintai Allah?
makhluk Allah tak membuatku gelisah
cinta tertumpah pada aku yang resah
bagaimana aku akan mencintai Allah?

Masya Allah