Sabtu, 27 Desember 2014

SMS : Ramkrishna Paramahansa

 

Life 


A conversation between Ramkrishna Paramahansa and Vivekananda. It's one of  the best message you can come across :


1. Vivekananda : "I can’t find free time. Life has become hectic."
Ramkrishna Paramahansa : "Activity gets you busy. But productivity gets you free."

2. Vivekananda : "Why has life become complicated now?"
Ramkrishna : "Stop analyzing life. It makes it complicated. Just live it."

3. Vivekananda : "Why are we then constantly unhappy?"
Ramkrishna : "Worrying has become your habit. That’s why you are not happy."

4. Vivekananda : "Why do good people always suffer?"
Ramkrishna : "Diamond cannot be polished without friction. Gold cannot be purified without fire. Good people go through trials, but don’t suffer. With that experience their life becomes better, not bitter."

5. Vivekananda : "You mean to say such experience is useful?"
Ramkrishna : "Yes. In every term, experience is a hard teacher. She gives the test first and then the lessons."

6. Vivekananda : "Because of so many problems, we don’t know where we are heading…"
Ramkrishna : "If you look outside you will not know where you are heading. Look inside. Eyes provide sight. Heart provides the way."

7. Vivekananda : "Does failure hurt more than moving in the right direction?"
Ramkrishna : "Success is a measure as decided by others. Satisfaction is a measure as decided by you."

8. Vivekananda : "In tough times, how do you stay motivated?"
Ramkrishna : "Always look at how far you have come rather than how far you have to go. Always count your blessing, not what you are missing."

9. Vivekananda : "What surprises you about people?"
Ramkrishna : "When they suffer they ask, 'Why me?' When they prosper, they never ask, 'Why me?'"

10. Vivekananda : "How can I get the best out of life?"
Ramkrishna : "Face your past without regret. Handle your present with confidence. Prepare for the future without fear."

11. Vivekananda : "One last question. Sometimes I feel my prayers are not answered."
Ramkrishna : "There are no unanswered prayers. Keep the faith and drop the fear. Life is a mystery to solve, not a problem to resolve. Trust me, life is wonderful if you know how to live."

Sabtu, 20 Desember 2014

Tidak Perlu Bertanya-Tanya

  

Hiduplah.

Tidak perlu bertanya-tanya.

Mengapa?
Apa?
Kapan?
Siapa?
Bagaimana?

Mengapa, bukanlah merencanakan.
Apa, bukan sesuatu.
Kapan, bukan pula sekarang.
Siapa, itu bukan kita.
Bagaimana, tidak pernah melakukan.

Kamis, 04 Desember 2014

Not Complaining, No Excuse

 


Not Complaining
No Excuse

Lakukan dengan hati
Pasrahkan



3 Desember 2014.
Kalau engkau pembalap sepeda 'Kirin', engkau akan sedikit mengetahuinya.


Jumat, 28 November 2014

Rabu, 26 November 2014

Senin, 17 November 2014

Senin, 10 November 2014

Hukum Cukup Memberi, Cukup Menerima

  

Seberapa cukup?


Bantuan, seberapa pun itu, selalu akan sudah terasa memadai, lebih dari cukup, bagi yang memberi, tetapi juga, umumnya, akan dirasakan masih kurang dari yang semestinya, tidak cukup, bagi yang menerima.


Dimana atau bagaimana kecukupannya?


Bandingkan dengan, dan renungkan, kutipan
dari Daniel Kahneman, dalam "Thinking, Fast And Slow," : "Kerugian (pemberian) terasa dua kali lebih berat (lebih banyak) dari sebuah keuntungan (penerimaan)."




Minggu, 02 November 2014

Hukum Ilmu

  

Hukum ilmu pengetahuan adalah : 

Lebih banyak yang kita tidak ketahui dari pada yang kita tahu.

Jika diperbandingkan antara yang kita ketahui dengan yang tidak kita ketahui, boleh dikatakan kita tidak tahu apa-apa.

Sabtu, 01 November 2014

Aku, Mbah Parmi Dan Mbah Atmo





Malam belum begitu larut, di atas gardu ronda pada mulut gang Kampung Lempuyangan Wangi yang mengarah ke Stasiun Kereta Api Lempuyangan, kami berempat, aku, Yanto dan dua kawan lainnya, sedang asik bermain ceki. Dari cemang-cemong jelaga teplok yang memenuhi wajah-wajah kami semua, jelas terlihat betapa serunya permainan kali ini.

Ketika itulah lewat Mbah Parmi. Tubuh rentanya yang kurus kecil berbalut kain batik yang sudah lusuh dan berkebaya yang juga tak kalah lusuhnya. Tapi di usia senjanya ini ia masih dapat berjalan tegak. Berjalan tenang, dari mulut gang, ia terus menyeberang jalan mengarah ke barat daya stasiun. Seperti beberapa orang yang kala itu, juga, melalui gang ini, kami tidak terlalu memperhatikan. Ceki berlanjut.

Beberapa jenak, lewat pula Mbah Atmo, sontak, kami tertegun saling pandang, lalu, meski tanpa direncanakan terlebih dahulu, seolah sepakat, beranjak, siap mengikuti, menghentikan ceki.

Dengan sarung tergulung tinggi mendekati lutut. Mbah Atmo, yang sudah terlalu tua untuk dipanggil Mbah ini, masih terlihat agak gagah, melangkah gesit, agak tergesa, dengan sarung berkibar, terlihat menyusuri jejak Mbah Parmi.

Dalam hati, kami semua merasakan, mungkin ini yang pernah beberapa kali diceritakan Yanto, bahwa ia pernah melihat Mbah Parmi dan Mbah Atmo melakukan sesuatu di emper gudang di utara stasiun. Cerita yang selalu kami anggap bohong belaka, cerita penghibur, penenggang waktu, yang tidak ada kebenarannya.

Mungkin inilah hal yang diceritakan itu.

Bagai gerilyawan Yogya Kembali, kami mengendap-endap di keremangan, mengikuti dari kejauhan.

Di seberang jalan, barat daya stasiun, terlihat kelebat bayangan Mbah Atmo, menunduk, menyeruak kawat pagar selatan stasiun. Sementara itu agak jauh di utaranya masih terlihat bayang Mbah Parmi, melangkahi rel-rel terakhir, mengarah ke belukar yang rimbun di sekitar gudang, yang menyelimuti lori-lori serta perlengkapan stasiun yang banyak berserakan di sisi utara stasiun itu.

Ketika kami menerobos pagar selatan stasiun, Mbah Parmi sudah tidak terlihat lagi, bayangan Mbah Atmo pun mulai hilang di telan belukar.

Dengan semakin hati-hati dan penuh ketegangan, kami terus mengendap-endap, menyeruak belukar. Yanto memberi isyarat ke arah timur, kami susuri, kosong. Kuarahkan telunjuk lebih ke utara, berempat kami rambahi belukar lebih lebat di situ, nihil. Empat penjuru belukar disisir, tak membawa hasil. Emper-emper gudang lengang, lori-lori, sepi.

Setelah setengah jam berusaha dengan sedikit berkata-kata, dan dengan mendapat beberapa gigitan nyamuk dan agas, serta dengan beberapa bagian tubuh yang kegatalan tertusuk duri dan bulu belukar, kami simpulkan, tidak ada gunanya lagi melanjutkan pencarian itu. Mbah Parmi dan Mbah Atmo, sejoli, seperti kata Yanto, bagai hilang ditelan bumi, entah sedang mengapa mereka saat ini, tidak ada yang tahu. Jelas, mereka sudah tidak dapat dicari.

Bagaimanapun, jika hal yang diceritakan Yanto itu benar adanya. Bbtapa gagalnya usaha kami.

Kembali ke gardu, permainan ceki kami lanjutkan, dengan selingan sesekali membahas apa yang baru saja terjadi.

Ketika itulah lewat Mbah Parmi. Tubuh rentanya yang kurus kecil berbalut kain batik yang sudah lusuh dan berkebaya yang tak kalah lusuhnya. Tapi ia masih dapat berjalan tegak. Berjalan tenang, dari seberang jalan, masuk ke mulut gang.

Beberapa jenak, lewat pula Mbah Atmo, dengan sarung tergulung tinggi mendekati lutut. Mbah Atmo, yang sudah terlalu tua untuk dipanggil Mbah ini, masih terlihat agak gagah, masih melangkah gesit, tetapi kali ini terlihat agak tenang, dengan sarung berkibar, bersiul kecil agak serak, dari seberang jalan, masuk ke mulut gang.

Dalam hati aku bertanya, apakah yang pernah beberapa kali diceritakan Yanto itu kejadian sebenarnya, cerita yang selalu kami anggap bohong belaka, cerita penghibur, penenggang waktu, yang tidak ada kebenarannya.

Tanpa bukti, sebuah cerita memang sukar, bahkan tidak bisa, dipercaya. Apalagi bila belum pernah menyaksikan, apalagi bila belum pernah merasakan.

Empat puluh lima tahun kemudian, aku mengenang-ngenang kejadian itu. Aku rasa, sekarang aku lebih mengerti. Setelah menyaksikan banyak hal, setelah merasakan ini dan itu, kini aku lebih dapat mempercayai apa yang diceritakan Yanto. Apalagi, kini umurku sudah melewati usia Mbah Parmi, bahkan sudah mendekati umur Mbah Atmo pada saat kejadian itu.




2 November 2014.


 


 

Rabu, 29 Oktober 2014

Abah Otong, Kramat Watu, Serang

 

Khusus dewasa. 

Abah Otong, Perumahan Bukit Pelamunan 'Indah', Kramat Watu, Serang. 








Selasa, 28 Oktober 2014

Maha

  

Mengapa Engkau serba Maha?


Karena aku membutuhkan Maha Mu?




Inspirasi dari Boardwalk Empire 5 Ep 8.


Jumat, 17 Oktober 2014

Sabtu, 11 Oktober 2014

Mungkin

 

  
Engkau mungkin

Tidak akan pernah mendapatkan kesempurnaan atas apa yang engkau peroleh.

Tapi

Engkau mungkin

Dapat melaksanakan sepenuhnya, apa yang ingin engkau lakukan.



Sabtu, 04 Oktober 2014

Kekasih

  

Kalau anda tidak mampu mengunjungi kekasihmu.

Undanglah dia datang kepadamu.



Q Shihab
5 Oktober 2014














Kamis, 25 September 2014

Tidak Usah Berpuasa

  

Tidak usah berpuasa.

Kecuali, karena Allah semata.



26 September 2014.



Bahkan semuanya.

Bahkan anda sendiri pun 

tidak perlu ada.



Senin, 22 September 2014

Tempat Terindah Di Dunia

  

Bagiku.

Tempat terindah di dunia ini.

Adalah di hati kamu.


Ya.


Di dalam.

Hatimu.



22 September 2014

Minggu, 17 Agustus 2014

Tata Krama : Telanjang Kaki


  

 
Beberapa hotel melati di Kalimantan Tengah, mengharuskan tamunya melepas alas kaki ketika memasuki ruang utama, lobi atau resepsionis.

Begitulah juga yang umum dilakukan, sesuai adat kebiasaan setempat, ketika berkunjung ke rumah tetangga atau kenalan.

Silakan, tolong lepaskan alas kaki ya.


Wisma Wagga-Wagga, Palangkaraya




Hotel Lising, Kuala Kurun


Senin, 04 Agustus 2014

Selasa, 29 Juli 2014

Love, It Is?

  




Ditambah beberapa penyesuaian yang diperlukan, mungkin.

 

Jumat, 25 Juli 2014

Pulang


    

Malam Jum'at, di Jakarta, dia bilang pada bapaknya : "Pak, saya ingin pulang."

Sabtu pagi, dia, begitu juga bapaknya, sudah dalam pesawat Lion Air, tujuan Tanjung Pinang, ke rumah masa kecilnya, dia pulang.

Ya, dia pulang.



Sementara bapaknya duduk tersandar di kursi penumpang, ia terbujur kaku di ruang bagasi dalam sebuah peti mati.



Betapa .......

 

Sabtu, 26 Juli 2014.
Innalillahiwainnailaihirajiun.
Lamtorogung Prayitno. Yang meninggal setelah beberapa hari dirawat di RS Persahabatan.






Rabu, 09 Juli 2014

Para Penguasa

  

 
Dulu sekali, ratusan tahun yang lalu, di lembah-lembah pegunungan di pedalaman, di pesisir pada ceruk pulau di seberang ufuk yang jauh, rakyat Indonesia telah hidup dengan ikatan longgar atau dalam kekerabatan dalam kegiatan sosial masyarakat setempat, tanpa birokrasi, tanpa memerlukan suatu negara.

Saat itu, para raja, merupakan tokoh-tokoh yang mungkin memiliki kharisma atau kesaktian, menyebarkan aura kekuasaan, tetapi mereka tetap saja tidak memerintah rakyat mereka.

Penduduk di kejauhan itu dapat menjalani hidup kesehariannya dengan tenang, dengan atau tanpa seorang raja.

Akan halnya raja. Penguasa itu. Mengangkat kerabat dan keturunannya menjadi raja. 

Atau, siapa yang membunuh raja, menjadi raja, bila dalam sehari raja yang satu membunuh raja yang lain, dan raja yang satu lagi dibunuh oleh raja yang lain lagi, maka raja berganti sebanyak kejadian-kejadian itu, tanpa memperhatikan siapa yang terbunuh, atau siapa yang membunuh. 

Pergantian para raja, baik hidup atau mati, tidak menimbulkan gejolak apa pun di antara penduduk di kejauhan, kecuali bagi beberapa pengikut para raja, dan penduduk di sekitar, dalam jangkauan pendek sang raja.

Penduduk di kejauhan rantau, menjalani hidup kesehariannya dengan tenang, dengan atau tanpa seorang raja.


Ide, kutipan bebas dan diolah  kembali dari : "Menuju Sejarah Sumatera, Antara Indonesia Dan Dunia", Anthony Reid, Buku Obor, KITLV, Jakarta. 2011.


Hari ini pemilihan presiden. 

Bukan penobatan raja baru.

Apakah jiwanya sama saja?









Selasa, 01 Juli 2014

Rabu, 25 Juni 2014

Waktu


  

"Waktu tidak pernah akan ada.
Jika tidak disediakan."



'The Matrix Reloaded'

Senin, 23 Juni 2014

Sabtu, 21 Juni 2014

Cik Mus

  


"Ape keghje awak ni?

Seperti biasa, dengan jawaban yang diharapkan dari seorang Melayu tulen pulau-pulau Riau, dia menjawab : "Tak adee."

Duduk di pelantar yang menghubungkan jalan ke Mesjid Penyengat, menghadap secangkir kopi susu, Cik Mus, memang tidak sedang bekerja. Mungkin dia sudah duduk disitu jenak beberapa jam.

Tapi, seperti seorang sopir taksi di Jakarta pernah katakan, semua rakyat kecil sudah bekerja keras. Siapa pun pemimpin yang akan datang, apapun program pembangunannya, tak ada pengaruhnya dengan rakyat kecil, rakyat paling kecil sudah sedari dulu bekerja keras. Petani nyangkul, sopir taksi nyopir, nelayan memancing, buruh-buruh sudah dan selalu membanting tulang.

Begitu juga Cik Mus.

Meski dia bilang, tak adee. Dia sudah hampir menyelesaikan tugasnya, bekerja sepenuh waktu, mendedikasikan jiwa dan raganya, menjadi nelayan seumur hidup. Anaknya sudah mandiri, dalam arti berumah sendiri, dia tinggal berdua dengan istrinya. Semua sudah hampir selesai. Tidak ada lagi, seperti kata "tak adee", yang diucapkannya lirih seakan menyapa.

Dia merasakan sudah kurang cukup kuat untuk turun kelaut memancing setiap hari, jadi ketika siang senggang, ia kadang duduk menenggang waktu disitu. Di hari terang terik seperti hari ini, udara di daratan amat panas, duduk di pelantar ini akan sedikit terasa lebih dingin, karena tersapu angin laut. Angin yang telah ia rasakan seumur hidup meniup setiap pori di sekujur tubuhnya.

Hidup mungkin akan berakhir, tetapi nelayan harus terpaksa tetap melaut, sampai mati. Sama seperti buruh, sopir taksi, dan petani, tetap bekerja keras, sampai ke tubir batas. Hingga ke pusaran maut, Cik Mus harus bertaut dengan laut.

Sesekali, akhir minggu, dia menyediakan jasa mengantar orang-orang kota pergi memancing. Hal yang cukup ia banggakan. 

Pengetahuan tentang, waktu ikan lapar, arus laut dan arah angin, serta instink nelayan yang telah menyatu dalam dirinya, membuat ia merasa lebih bisa diandalkan sebagai pemandu. Orang bisa sampai ke lokasi-lokasi yang sama, tetapi tidak menemukan seekor ikan pun, ulasnya. 

Kalau mau, katanya lagi, dengan tarip enam ratus ribu, untuk sewa perahu, ia dapat mengantarkan memancing sepanjang hari, tujuh ratus ribu untuk acara memancing sepanjang malam. Ikan terpancing, jaminan pasti.



Cik Mus


Mesjid Penyengat

Sabtu, 14 Juni 2014

Akal Budi

  


  
Budi pekerti.



Sungguh indah pohon kenari.
Tegak tinggi di hutan jati.
Jika ingin menghias diri.
Hiasi dengan akal budi.



Rabu, 14 Mei 2014

Air Mata Buaya

 

Kupu-kupu dan lebah sedang minum air mata buaya.


  
  





Sumber : National Geographic

Selasa, 13 Mei 2014

Berapa Segi Tiga?




Tidak ada satu pun segi tiga di gambar ini. 
  
  


Sabtu, 10 Mei 2014

Herb Feith


 


Pada salah satu hari Jum'at siang, bulan Desember 1992. 

Cuacanya terik.

Jamaah Jum'at sedang tekun mendengarkan khotbah. Di tengah-tengah jamaah itu, duduk, sesekali berpeluk lutut, seorang bertubuh kecil agak kurus, brewok tipis, berkacamata agak tebal, dengan seksama mendengarkan khotbah yang disampaikan. Berbaju kemeja corak batik, layaknya seorang Indonesia, berbaur sebati dengan jamaah.

Selesai khotbah, semua berdiri memulai shalat Jum'at, dia pun berdiri, berbaris bersama safnya. 

Sembahyang Jum'at pun dimulai.



Hari ini, tahun 2014, ada buku terjemahan ke Bahasa Indonesia tentang diri orang itu, Herb Feith, seorang Yahudi Swedia, boyong ke Australia, yang meninggal pada kecelakaan tragis pada November 2001, dijual di toko-toko buku di Jakarta.



Panas teriknya Jum'at itu, terjadi di salah satu pelataran gedung di Universitas Monash, Melbourne, di sela acara Konferensi Demokrasi, yang dihadiri orang-terkemuka Indonesia, termasuk, salah satu yang memeriahkan konferensi, Abdurrachman Wahid, yang saat itu belum menjadi presiden Republik Indonesia.



Semua mereka, saling kenal, saling silang.




10 Mei 2014.





Speaker

  


Seorang anak di salah satu desa di Tomohon bertanya pada ibunya...

Anak : “Ma...kiapa kalo kita pipis depe bunyi pe alus?? Kong kalo mama pipis babunyi kraas ... ?!”

Mama : “Ngana pi tanya pa ngana pe papa sana ..., dia yang beking rusak mama pe speaker ...!!!





Jumat, 09 Mei 2014