Dulu sekali, ratusan tahun yang lalu, di lembah-lembah pegunungan di pedalaman, di pesisir pada ceruk pulau di seberang ufuk yang jauh, rakyat Indonesia telah hidup dengan ikatan longgar atau dalam kekerabatan dalam kegiatan sosial masyarakat setempat, tanpa birokrasi, tanpa memerlukan suatu negara.
Saat itu, para raja, merupakan tokoh-tokoh yang mungkin memiliki kharisma atau kesaktian, menyebarkan aura kekuasaan, tetapi mereka tetap saja tidak memerintah rakyat mereka.
Penduduk di kejauhan itu dapat menjalani hidup kesehariannya dengan tenang, dengan atau tanpa seorang raja.
Akan halnya raja. Penguasa itu. Mengangkat kerabat dan keturunannya menjadi raja.
Atau, siapa yang membunuh raja, menjadi raja, bila dalam sehari raja yang satu membunuh raja yang lain, dan raja yang satu lagi dibunuh oleh raja yang lain lagi, maka raja berganti sebanyak kejadian-kejadian itu, tanpa memperhatikan siapa yang terbunuh, atau siapa yang membunuh.
Pergantian para raja, baik hidup atau mati, tidak menimbulkan gejolak apa pun di antara penduduk di kejauhan, kecuali bagi beberapa pengikut para raja, dan penduduk di sekitar, dalam jangkauan pendek sang raja.
Penduduk di kejauhan rantau, menjalani hidup kesehariannya dengan tenang, dengan atau tanpa seorang raja.
Ide, kutipan bebas dan diolah kembali dari : "Menuju Sejarah Sumatera, Antara Indonesia Dan Dunia", Anthony Reid, Buku Obor, KITLV, Jakarta. 2011.
Hari ini pemilihan presiden.
Bukan penobatan raja baru.
Apakah jiwanya sama saja?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar