Jumat, 25 Juli 2014

Pulang


    

Malam Jum'at, di Jakarta, dia bilang pada bapaknya : "Pak, saya ingin pulang."

Sabtu pagi, dia, begitu juga bapaknya, sudah dalam pesawat Lion Air, tujuan Tanjung Pinang, ke rumah masa kecilnya, dia pulang.

Ya, dia pulang.



Sementara bapaknya duduk tersandar di kursi penumpang, ia terbujur kaku di ruang bagasi dalam sebuah peti mati.



Betapa .......

 

Sabtu, 26 Juli 2014.
Innalillahiwainnailaihirajiun.
Lamtorogung Prayitno. Yang meninggal setelah beberapa hari dirawat di RS Persahabatan.






Rabu, 09 Juli 2014

Para Penguasa

  

 
Dulu sekali, ratusan tahun yang lalu, di lembah-lembah pegunungan di pedalaman, di pesisir pada ceruk pulau di seberang ufuk yang jauh, rakyat Indonesia telah hidup dengan ikatan longgar atau dalam kekerabatan dalam kegiatan sosial masyarakat setempat, tanpa birokrasi, tanpa memerlukan suatu negara.

Saat itu, para raja, merupakan tokoh-tokoh yang mungkin memiliki kharisma atau kesaktian, menyebarkan aura kekuasaan, tetapi mereka tetap saja tidak memerintah rakyat mereka.

Penduduk di kejauhan itu dapat menjalani hidup kesehariannya dengan tenang, dengan atau tanpa seorang raja.

Akan halnya raja. Penguasa itu. Mengangkat kerabat dan keturunannya menjadi raja. 

Atau, siapa yang membunuh raja, menjadi raja, bila dalam sehari raja yang satu membunuh raja yang lain, dan raja yang satu lagi dibunuh oleh raja yang lain lagi, maka raja berganti sebanyak kejadian-kejadian itu, tanpa memperhatikan siapa yang terbunuh, atau siapa yang membunuh. 

Pergantian para raja, baik hidup atau mati, tidak menimbulkan gejolak apa pun di antara penduduk di kejauhan, kecuali bagi beberapa pengikut para raja, dan penduduk di sekitar, dalam jangkauan pendek sang raja.

Penduduk di kejauhan rantau, menjalani hidup kesehariannya dengan tenang, dengan atau tanpa seorang raja.


Ide, kutipan bebas dan diolah  kembali dari : "Menuju Sejarah Sumatera, Antara Indonesia Dan Dunia", Anthony Reid, Buku Obor, KITLV, Jakarta. 2011.


Hari ini pemilihan presiden. 

Bukan penobatan raja baru.

Apakah jiwanya sama saja?









Selasa, 01 Juli 2014

Rabu, 25 Juni 2014

Waktu


  

"Waktu tidak pernah akan ada.
Jika tidak disediakan."



'The Matrix Reloaded'

Senin, 23 Juni 2014

Sabtu, 21 Juni 2014

Cik Mus

  


"Ape keghje awak ni?

Seperti biasa, dengan jawaban yang diharapkan dari seorang Melayu tulen pulau-pulau Riau, dia menjawab : "Tak adee."

Duduk di pelantar yang menghubungkan jalan ke Mesjid Penyengat, menghadap secangkir kopi susu, Cik Mus, memang tidak sedang bekerja. Mungkin dia sudah duduk disitu jenak beberapa jam.

Tapi, seperti seorang sopir taksi di Jakarta pernah katakan, semua rakyat kecil sudah bekerja keras. Siapa pun pemimpin yang akan datang, apapun program pembangunannya, tak ada pengaruhnya dengan rakyat kecil, rakyat paling kecil sudah sedari dulu bekerja keras. Petani nyangkul, sopir taksi nyopir, nelayan memancing, buruh-buruh sudah dan selalu membanting tulang.

Begitu juga Cik Mus.

Meski dia bilang, tak adee. Dia sudah hampir menyelesaikan tugasnya, bekerja sepenuh waktu, mendedikasikan jiwa dan raganya, menjadi nelayan seumur hidup. Anaknya sudah mandiri, dalam arti berumah sendiri, dia tinggal berdua dengan istrinya. Semua sudah hampir selesai. Tidak ada lagi, seperti kata "tak adee", yang diucapkannya lirih seakan menyapa.

Dia merasakan sudah kurang cukup kuat untuk turun kelaut memancing setiap hari, jadi ketika siang senggang, ia kadang duduk menenggang waktu disitu. Di hari terang terik seperti hari ini, udara di daratan amat panas, duduk di pelantar ini akan sedikit terasa lebih dingin, karena tersapu angin laut. Angin yang telah ia rasakan seumur hidup meniup setiap pori di sekujur tubuhnya.

Hidup mungkin akan berakhir, tetapi nelayan harus terpaksa tetap melaut, sampai mati. Sama seperti buruh, sopir taksi, dan petani, tetap bekerja keras, sampai ke tubir batas. Hingga ke pusaran maut, Cik Mus harus bertaut dengan laut.

Sesekali, akhir minggu, dia menyediakan jasa mengantar orang-orang kota pergi memancing. Hal yang cukup ia banggakan. 

Pengetahuan tentang, waktu ikan lapar, arus laut dan arah angin, serta instink nelayan yang telah menyatu dalam dirinya, membuat ia merasa lebih bisa diandalkan sebagai pemandu. Orang bisa sampai ke lokasi-lokasi yang sama, tetapi tidak menemukan seekor ikan pun, ulasnya. 

Kalau mau, katanya lagi, dengan tarip enam ratus ribu, untuk sewa perahu, ia dapat mengantarkan memancing sepanjang hari, tujuh ratus ribu untuk acara memancing sepanjang malam. Ikan terpancing, jaminan pasti.



Cik Mus


Mesjid Penyengat

Sabtu, 14 Juni 2014

Akal Budi

  


  
Budi pekerti.



Sungguh indah pohon kenari.
Tegak tinggi di hutan jati.
Jika ingin menghias diri.
Hiasi dengan akal budi.