Jumat, 28 November 2014
Rabu, 26 November 2014
Senin, 17 November 2014
Senin, 10 November 2014
Hukum Cukup Memberi, Cukup Menerima
Seberapa cukup?
Bantuan, seberapa pun itu, selalu akan sudah terasa memadai, lebih dari cukup, bagi yang memberi, tetapi juga, umumnya, akan dirasakan masih kurang dari yang semestinya, tidak cukup, bagi yang menerima.
Dimana atau bagaimana kecukupannya?
Bandingkan dengan, dan renungkan, kutipan
dari Daniel Kahneman, dalam "Thinking, Fast And Slow," : "Kerugian (pemberian) terasa dua kali lebih berat (lebih banyak) dari sebuah keuntungan (penerimaan)."
Minggu, 02 November 2014
Hukum Ilmu
Hukum ilmu pengetahuan adalah :
Lebih banyak yang kita tidak ketahui dari pada yang kita tahu.
Jika diperbandingkan antara yang kita ketahui dengan yang tidak kita ketahui, boleh dikatakan kita tidak tahu apa-apa.
Sabtu, 01 November 2014
Aku, Mbah Parmi Dan Mbah Atmo
Malam belum begitu larut, di atas gardu ronda pada mulut gang
Kampung Lempuyangan Wangi yang mengarah ke Stasiun Kereta Api Lempuyangan, kami
berempat, aku, Yanto dan dua kawan lainnya, sedang asik bermain ceki. Dari
cemang-cemong jelaga teplok yang memenuhi wajah-wajah kami semua, jelas terlihat
betapa serunya permainan kali ini.
Ketika itulah lewat Mbah Parmi. Tubuh rentanya yang kurus
kecil berbalut kain batik yang sudah lusuh dan berkebaya yang juga tak kalah lusuhnya. Tapi di usia senjanya ini ia masih dapat berjalan tegak.
Berjalan tenang, dari mulut gang, ia terus menyeberang jalan mengarah ke barat
daya stasiun. Seperti beberapa orang yang kala itu, juga, melalui gang ini,
kami tidak terlalu memperhatikan. Ceki berlanjut.
Beberapa jenak, lewat pula Mbah Atmo, sontak, kami tertegun
saling pandang, lalu, meski tanpa direncanakan terlebih dahulu, seolah sepakat,
beranjak, siap mengikuti, menghentikan ceki.
Dengan sarung tergulung tinggi mendekati lutut. Mbah Atmo,
yang sudah terlalu tua untuk dipanggil Mbah ini, masih terlihat agak gagah,
melangkah gesit, agak tergesa, dengan sarung berkibar, terlihat menyusuri jejak
Mbah Parmi.
Dalam hati, kami semua merasakan, mungkin ini yang pernah beberapa kali
diceritakan Yanto, bahwa ia pernah melihat Mbah Parmi dan Mbah Atmo melakukan
sesuatu di emper gudang di utara stasiun. Cerita yang selalu kami anggap bohong
belaka, cerita penghibur, penenggang waktu, yang tidak ada kebenarannya.
Mungkin inilah hal yang diceritakan itu.
Bagai gerilyawan Yogya Kembali, kami mengendap-endap di
keremangan, mengikuti dari kejauhan.
Di seberang jalan, barat daya stasiun, terlihat kelebat
bayangan Mbah Atmo, menunduk, menyeruak kawat pagar selatan stasiun. Sementara
itu agak jauh di utaranya masih terlihat bayang Mbah Parmi, melangkahi rel-rel terakhir,
mengarah ke belukar yang rimbun di sekitar gudang, yang menyelimuti lori-lori
serta perlengkapan stasiun yang banyak berserakan di sisi utara stasiun itu.
Ketika kami menerobos pagar selatan stasiun, Mbah Parmi
sudah tidak terlihat lagi, bayangan Mbah Atmo pun mulai hilang di telan belukar.
Dengan semakin hati-hati dan penuh ketegangan, kami terus
mengendap-endap, menyeruak belukar. Yanto memberi isyarat ke arah timur, kami
susuri, kosong. Kuarahkan telunjuk lebih ke utara, berempat kami rambahi
belukar lebih lebat di situ, nihil. Empat penjuru belukar disisir, tak membawa hasil. Emper-emper gudang lengang, lori-lori, sepi.
Setelah setengah jam berusaha dengan sedikit berkata-kata, dan dengan mendapat beberapa gigitan nyamuk dan agas, serta dengan beberapa bagian tubuh
yang kegatalan tertusuk duri dan bulu belukar, kami simpulkan, tidak ada
gunanya lagi melanjutkan pencarian itu. Mbah Parmi dan Mbah Atmo, sejoli, seperti kata
Yanto, bagai hilang ditelan bumi, entah sedang mengapa mereka saat ini, tidak ada yang tahu. Jelas, mereka sudah tidak dapat dicari.
Bagaimanapun, jika hal yang
diceritakan Yanto itu benar adanya. Bbtapa gagalnya usaha kami.
Kembali ke gardu, permainan ceki kami lanjutkan, dengan
selingan sesekali membahas apa yang baru saja terjadi.
Ketika itulah lewat Mbah Parmi. Tubuh rentanya yang kurus
kecil berbalut kain batik yang sudah lusuh dan berkebaya yang tak kalah lusuhnya. Tapi ia masih dapat berjalan tegak. Berjalan tenang,
dari seberang jalan, masuk ke mulut gang.
Beberapa jenak, lewat pula Mbah Atmo, dengan sarung
tergulung tinggi mendekati lutut. Mbah Atmo, yang sudah terlalu tua untuk
dipanggil Mbah ini, masih terlihat agak gagah, masih melangkah gesit, tetapi kali
ini terlihat agak tenang, dengan sarung berkibar, bersiul kecil agak serak,
dari seberang jalan, masuk ke mulut gang.
Dalam hati aku bertanya, apakah yang pernah beberapa kali
diceritakan Yanto itu kejadian sebenarnya, cerita yang selalu kami anggap
bohong belaka, cerita penghibur, penenggang waktu, yang tidak ada kebenarannya.
Tanpa bukti, sebuah cerita memang sukar, bahkan tidak bisa,
dipercaya. Apalagi bila belum pernah menyaksikan, apalagi bila belum pernah merasakan.
Empat puluh lima tahun kemudian, aku mengenang-ngenang
kejadian itu. Aku rasa, sekarang aku lebih mengerti. Setelah menyaksikan banyak hal, setelah merasakan ini dan itu, kini aku lebih dapat mempercayai apa yang
diceritakan Yanto. Apalagi, kini umurku sudah melewati usia Mbah Parmi, bahkan sudah mendekati umur Mbah Atmo pada saat kejadian itu.
2 November 2014.
Langganan:
Postingan (Atom)