Cerita ini kami dengar dari Erry, baru-baru ini. Dia mencerikan pengalamannya di Afganistan, beberapa puluh tahun lalu, ketika bertugas sebagai anggota gugus tugas sebuah Badan Dunia. Entah dalam tugas apa, tidak tersimak pula oleh kami.
Begini cerita Erry.
Dalam sebuah acara, ketika pembicara akan memulai sambutannya, pembicara itu menguluk salam 'Assalamu'alaikumwarahmatullahiwabarakatuh.' Otomatis, Erry membalas salam itu, dengan suara yang tidak terlalu keras, tidak juga tidak berbunyi, cukup untuk dapat terdengar oleh beberapa hadirin di sekitarnya. Iya, kita semua di Negara Melayu ini tentu akan melakukan hal yang sama.
Tapi ternyata tidak begitu di Afganistan. Salah seorang yang hadir di sebelah Erry, kebetulan warga Afganistan, menggamitkan sikunya ke Erry, memberi isyarat bahwa ada yang tidak seharusnya begitu. Setengah berbisik, 'nanti akan saya beritahukan.'
Kemudian.
Disini, katanya. Kata orang Afganistan itu. Menjawab salam cukup di dalam hati. Yang lebih tua tidak perlu memberi salam pada yang lebih muda. Yang lebih muda, sudah menjadi kewajibannya mendo'akan orang tua, termasuk orang yang lebih tua dari dirinya.
Oo begitu.
Kira-kira begitu yang kami dengar, mungkin salah, mungkin benar, tapi begitulah yang diceritakan Erry. Lain padang, lain belalang, ternuaya ada benarnya juga pepatah itu.
Erry melanjutkan.
Pada kesempatan lain, lanjut Erry, Ia dan beberapa anggota timnya dari berbagai negara, berkesempatan bertemu ramah dengan salah seorang Menteri Senior. Seorang gagah, berpakaian tradisional Afghanistan, berkacamata hitam. Sang Menteri berpendidikan Barat. Dan berwawasan luas. Hal itu ia buktikan, atau dengan sengaja ia lakukan untuk menunjukkan keluasan pengetahuannya.
Wallahualam. Tapi Erry memandangnya seperti sedikit ingin menunjukkan. Seperti itu lah kira-kira.
Tidak pula yakin kami apa hal yang sebenarnya. Lagi, Wallahualam.
Erry melanjutkan ceritanya.
'Saudara dari mana'
'Yaman'
Lalu sang Menteri bercerita tentang Yaman, membahas masalah dan hal-hal yang berkaitan dengan Yaman.
Luar biasa kan, kami fikir Sang Menteri pastilah lebih tahu dari pada Erry, tentang hal-hal Yaman.
Lanjut.
'Saudara yang dari Afrika?'
'Afrika Selatan'
Lagi. Afrika Selatan dibahas bak seminar.
Oh iya, kami hanya mendengar cerita ini ketika Erry menjadi pembicara dalam sebuah seminar online. Erry tidak mengenal kami, apalagi kami, muskil dapat berkenalan dengan Erry.
Lanjut lagi. Giliran Erry tertanya.
'Saudara?'
'Indonesia.'
Kali ini Indonesia dibahas.
Yang membuat Erry sedikit bersenang hati, Sang Menteri mengatakan ia sangat salut dengan Sukarno.
'Sukarno orang hebat katanya, sambil mengacungkan jempol.'
Sambil seolah mengenang kejadian yang sudah lama berlalu, Sang Menteri bercerita.
Bahwa, pada sebuah kunjungan ke Afganistan, Sukarno berkesempatan menyampaikan pidato.
Sebagai seorang Muslim, di negara Muslim, Sukarno mengawali pidatonya dengan salam.
'Assalamualaikumwarahmatullahiwabarakatuh,' dengan suara yang cukup keras. Kan Sukarno. Apalagi ketika akan berpidato. Kenal Sukarno kan.
Hadirin. 'Adem ayem.' Bukankah mereka telah menjawabnya di dalam hati.
Sukarno. Setengah heran, setengah aneh.
Sekali lagi.
'Assalamualaikumwarahmatullahiwabarakatuh.'
Hadirin. Lagi-lagi kalem tenang.
Sukarno.
Berbicara pada penerjemahnya agar menerjemahkan dan menyampaikan apa yang ia katakan dengan lengkap dan benar. Bahwa ia Muslim. Bahwa ia juga mempelajari ajaran, perintah dan kebajikan Islam. Bahwa jika seorang Muslim mengucapkan salam kepadamu engkau wajib menyalaminya dengan hal yang serupa atau lebih baik. Bahwa 'Assalamualaikumwarahmatullahiwabarakatuh' wajib dijawab dengan ''Waalaikumsalamwarahmatullahiwabarakatuh.' Dengan suara yang seimbang pula. Iya begitu pintanya. Terjemahkan, sampaikan dengan lengkap.
Selengkapnya diterjemahkan dan disampaikan sang penerjemah. Tuntas.
Sekali lagi Sukarno menguluksalam dengan suara mantapnya, 'Assalamualikumwarahmatullahiwabarakatuh.'
Ini akibatnya.
Seketika.
'Waalaikumsalamwarahmatullahiwabarakatuh' membahana, ketika hadirin serentak menjawab salam itu dengan suara yang dikeraskan.
Kita tahu kan, bagaimana suasananya, seperti kebiasaan kita di negeri Melayu.
Demikian ungkap Erry. Terus.
Ya, kata Sang Menteri, hanya dalam tiga menit Sukarno mampu mempengaruhi dan mengubah laku ribuan orang, yang, Sang Menteri sendiri mengakui bahwa ia tidak akan mampu melakukannya.
Sang Menteri termangu sejenak, sambil menggigit kecil ujung bingkai kacamatanya. Mengenang kejadian yang dulu dia saksikan.
Erry menuai rasa bangga di sudut hati.
Merdeka!!!
12 Agustus 2021
Diceritakan kembali dengan tambahan sedikit bumbu atas cerita aslinya.