Minggu, 15 Januari 2012

Tulisan Tanpa Judul


Di saat aku kehilangan hayat.

Di saat sarafku kehilangan do re mi.

Ketika yang tinggal hanya do re, do re, do re, hah, hah, hah, hah.

Maka 'simpang tiga rumpun bambu' yang disampaikan Ribut Suryadi diantarkan angin ke ruang perihku.

Membuatku sangat terhibur.

'Basmi' lagu pengantar mengiringiku ke ruang harapan.


Kamis, 5 Januari 2012. Pukul 22.45
Penulis : Machzumi Daud (5 Desember 1951 - 13 Januari 2012)

Cerita Lain Dahlia


Di dalam aku saksikan dinding bercat hijau, plafon hijau, pintu hijau, jendela hijau, gordin cokelat dan kipas angin berputar dengan sabar.

Sebuah pil kecil warna hijau diberikan pukul 21.00, pergantian shift perawat jam 23.00 akan ada tindakan suntikan.

Hal-hal yang tak perlu dirisaukan.

Hal-hal biasa dalam kamar 3X4 inilah duniaku.

Hari ini dan beberapa hari yang yang tak dapat diprediksi,
tapi bila mengingat mata hari petang yang akan menyinari di tingkapku besok.
Aku merasa tak perlu menghitung-hitung hari,
agaknya lebih baik menghilang sesak yang mendesak-desak dalam dadaku


Kamis, 5 Januari 2012. Pukul 21.51
Penulis : Machzumi Daud (5 Desember 1951 - 13 Januari 2012)


Senin, 02 Januari 2012

Hari Ini Tujuh Tahun Yang Lalu



“Hari itu hari Minggu yang biasa. Pagi itu aku sedang menata ruangan, sementara, ibuku, masih menyapu di halaman belakang, dan adikku yang perempuan sedang bermain-main di halaman, dengan beberapa anak tetangga. Ketika itulah, kudengar ada sedikit kegaduhahan di luar, di tengah kegaduhan itu ada suara teriakan yang agak jelas : “air laut surut. Oi!.” Aku bergegas keluar, setengah berlari arah ke pantai.

Oya, aku anak nelayan, aku sendiri nelayan juga, usia 27 tahun, bapakku, telah meninggal, aku tinggal bersama ibu dan adikku, di sebuah rumah kayu kecil di kampung nelayan di pantai Ulele. Meski nelayan, aku tidak punya sampan atau perahu. Memancing pun aku hanya menggunakan ban dalam mobil bekas yang diberi lantai ikatan tali. Meski begitu, memancing kerapu, cukup memberi penghasilan yang lumayan. Ibuku berdagang kecil-kecilan di kawasan wisata pantai Ulele.

Hari Minggu, biasanya banyak wisatawan yang bermandi manda, wisata di pinggir pantai di sini. Tapi hari ini, apa yang kulihat sungguh menakjubkan. Coba lihat itu, air surut jauh, ikan-ikan berlompatan di lumpur, orang yang berenang di pantai menggunakan ban bekas, kelihatan kecil jauh, terbawa air yang surut. Menurut perkiraanku air ini surut sampai pada tempat dimana kedalaman air laut lebih kurang 20 meter. Aku pasti itu, aku kan nelayan, lagipula ini tempat aku biasa memancing. Tapi pemandangan ini tak bersuasana, mencekat tenggorokanku.

Sejurus kemudian, tidak seperti yang diceritakan orang-orang, bahwa air seperti gelombang yang menggunung dan pecah di puncaknya itu, dari arah air surut itu, ada suara seperti ratusan truk raksasa yang sedang menderu menuju pantai, penuh terbangan air seperti debu ditengah hingar mesin-mesin besarnya. Air dari laut itu datang seperti keluar dari bendungan-bendungan yang pecah yang kulihat di filem-filem itu. Tak percaya, tapi. Tsunami, ini tsunami, ya aku tahu ini tsunami. Sebagai nelayan yang gemar nonton tv, aku tahu itu tsunami seperti yang pernah kulihat di tv. “Air, air…, air naik. Air, air, air…" entah siapa yang memulainya, tetapi bersamaan, semua yang menyaksikan meneriakkan hal yang sama. Gema teriakan di sepanjang pantai, bersahutan dan dihimpit oleh gemuruh laut. Oooo.

Aku tak memikirkan apa-apa, tidak sempat, kecuali mencari tempat yang cukup tinggi untuk kunaiki, ketika gemuruh air mencapai bibir pantai, kulihat menara penampung air, yang ada di balakang rumah tetangga, tetapi, kuragukan kekuatannya, kelihatan rapuh. Betul, menara air itu ternyata memang tak ada artinya. Diantara beberapa pohon cemara pantai kujatuhkan pilihan pada yang agak besar. Ketika air mulai menyentuh kakiku, ketika itulah aku mulai memanjatnya. Kuceritakan, aku tidak pernah memanjat pohon secepat ini. Cepat sekali, Sambil memanjat, ke cabang yang lebih tinggi, kusaksikan sekilas-sekilas, keadaan sekitar. Betapa hiruk pikuknya orang menyelamatkan diri di kejauhan sana. Apa itu, bukankah itu ibu, dan adikku dan anak-anak tetangga itu, berlari serabutan cepat tetapi lebih lambat dari kejaran air. Ya tuhan. Ini.

Beberapa saat kemudian. Jadlah lautan itu. Semua yang ada di Ulele, beberapa kilometer, kedarat. berubah menjadi lautan. Air berlumba-lumba, menenggelamkan dan menghancurkan apa saja. Tongkang PLN yang tertambat di pelabuhan Ulele juga terbawa air. Kulihat ia seperti berlayar mengikutinya. Mak, tongkang sebesar itu pun, berapa ribu ton itu. Sampai disini, aku tidak merasakan apa-apa kecuali ketakjuban yang luar biasa. Gemuruh itu seperti tenang, dibenakku. Tak kusadari.

Tiba-tiba, air yang meluru ke daratan itu seperti terputus dari induknya. Pasir di pantai Ulele, anehnya terlihat lagi. Genangan air yang sudah di darat, berketinggian jauh diatas tinggi atap rumah itu, yang sudah terpisah, tiba tiba seperti air terjun kembali menjatuhkan dirinya ke arah laut. Seperti air terjun, menderu mengikis pantai. Apa lagi ini. Tanah tempat akar pohon yang kupanjat ini pun terasa mulai terkikis. Pohon mulai goyang dan condong bersama terjunnya air yang agak semakin merendah ketinggiannya. Aku berusaha menyeimbangkan diri dengan kemiringan pohon. Tapi pohon ini tidak akan kuat lagi. Aku akan jatuh juga ke air yang sedang menggelora ini. Segera saja kulepas baju dan celanaku, berenang dengan pakaian pasti tidak memungkinkan, berat. Kuambil dompet, disaku celanaku, kucampakkan pakaian itu, tinggal celana dalam. Cukup pikirku. Dompet ini berisi uang satu setengah juta yang akan kubawa ke Jakarta untuk mengikuti pendidikan pelaut, rencanaku. Kupegang, merepotkan kupikir, akhirnya kucampakkan juga. Bersamaan dengan robohnya pohon yang kupanjat, aku melompat keair yang mengalir kelaut itu, terbawa arus hitam. Tanganku menggapai apa saja dalam geloranya. Lenganku tersangkut keapda sesuatu, aku berpagut disitu, mungkin akar atau apa, tapi derasnya air ini sungguh bukan aku yang mampu menahannya. Lihat bilur- bilur dilenganku ini. Akhirnya terlepas juga, menyerah, kemauan airlah yang harus kuikuti.

Air yang menggerusku kadalamnya, menggulungku, menyedotku, mencampakkanku, mendorongku. Aku bergelut. Meski nelayan, yang kuat berenang, aku tak mampu, mengikutinya. Sambil berusaha tak henti, mengikuti kehendaknya, menjaga diri.Beberapa saat, aku lupa apakah aku bernafas atau tidak, minum air atau tersedak, hingga akhirnya, semua mengarahkanku muncul ke permukaan, ke belakang sebuah gelombang. Rupanya itulah gelombang kedua yang menyusul, yang berada antara aku dan daratan. Aku yang tersedot ke bawah air kini muncul berada di belakangnya. Beberapa waktu tak kulihat lagi daratan. Daratan tertutup horison gelombang ini. Aku hanya lega dapat bernafas dengan udara ini.

Mengikuti gelombang dari belakang, merupakan hal yang biasa lagi bagiku, ketika air merendah dan daratan mulai kelihatan, fikiranku yang pertama adalah berenang kearah tempat yang kelihatan agak tinggi. Jembatan Ulele, kelihatan di kejauhan. Kesanalah aku setelah antara berenang dan berjalan berarah, untuk akhirnya terduduk di tengah jembatan, pada tempatnya yang paling tinggi. Aku belum mencernakan apa-apa yang telah terjadi. Gelombang susulan berikutnya, sudah tak berarti apa-apa lagi bagiku.

Mungkin dari apa yang kuceritakan ini bisa dibayangkan kejadian sesungguhnya, tetapi sebetulnya apa yang aku ceritakan ini tidak sedikitpun menggambarkan hal yang sebenarnyanya terjadi. Misalnya, saat dimana aku jatuh dari pohon hingga sampai di jembatan itu, itu menit-menit kejadian yang tidak tahu aku cara menceritakannya.

Lihatlah apa yang ada di TV, atau koran. Itulah yang terjadi. Kini aku disini, di penampungan pengungsi TVRI, Banda Aceh. Aku sudah melihat Ulele kemarin dulu, tak kutemukan siapa-siapa, seorangpun. Yang hilang sekalipun, tak kutemukan. Apakah mereka meninggal. Sampai sekarang pun aku tak pasti. Aku di sini satu tenda juga hanya dengan beberapa orang asal Ulele yang selamat, yang baru kukenal disini. Makan semakannya, berpakaian sedapatnya. Tidak tahu dari mana. Beberapa hari setelah kejadian itu, adalah hari-hari dimana aku baru bisa merasakan, pengaruh kejadian itu, pada diriku. Aku bayangkan kembali, Ibu dan adikku, pada saat itu. Itu ibu dan adik kandungku. Cuma mereka saudaraku. Waktu hal itu kualami, waktu aku melihat kejadian itu didepan mataku, tidak kurasakan rasa yang seberat, ketika aku membayangkan hal itu saat ini. Kalau engkau mengenal seseorang, berbuat baiklah padanya selagi ia masih ada. Aku mau menceritakan hal ini pada siapa? Kawan pun aku sudah tak punya. Mungkin lebih enak kalau hal ini kuceritakan pada kawan sepermainanku. Bukan kepada orang yang baru kutemui. Begitu pun aku kurangkan bebanku dengan mengisahkan cerita ini.

Beberapa hari yang lalu, berjalan hilir mudik kulakukan tanpa arah tujuan, bahkan mengikuti siapa saja orang di pengungsian. Dua hari bahkan aku mengikuti sebuah kendaraan hingga ke Medan. Ngapain aku di Medan? Aku tidak tahu. Jadi aku pulang lagi ke sini. Apakah aku akan pergi sekolah pelayaran di Jakarta? Sekolah yang sebenarnya apa pun aku tidak tahu. Masih ada sekolahnya? Aku tidak tahu. Uangkupun tak ada. Waktu itu aku sudah mau ke Jakarta, dengan uang satu setengah juta, tapi ditahan ibuku, disuruh menunggu menemani adikku yang masih liburan sekolah. tunggulah sebulan lagi setelah adikmu masuk sekolah, katanya. Apakah ketika itu, ini yang kutunggu? Apakah aku masih hidup?

Aku tidak tahu.”


Cerita di atas adalah cerita dari seorang pemuda yang selamat, yang berada di sebelah Pos Pengungsi di TVRI, Banda Aceh. Ia menceritakan semuanya, tanpa emosi, tanpa mampu memandang. Hanya genangan dari sisa air mata, yang membasahi pelupuk matanya., menjelaskan semuanya. Ada yang terkoyak di lubuk hatinya. Kesimpulan-kesimpulan yang ia buat, yang ditulis ulang di atas, memang tidak dapat membangun keadaan sebenarnya dari apa yang ia alami. Jauh. Ini hanya kesaksian. Tapi dapat dirasakan meski hanya sebagai saksi.

Jadi. Ke Ulele, Januari 2005, menyaksikan suasana ceritanya, melihat ada Mesjid disana, satu-satunya bangunan agak utuh, jembatan ulele, melewati jembatan hanya ada sebatang pohon, dan tugu di kawasan bekas perkantoran Pertamina. Datang ke Punge Blang Cut, tiga kilometer dari pantai Ulele arah ke darat, melihat Tongkang PLN yang terdampar di situ. Teronggok ditengah segala sisa bumi, sisa bangunan dan manusia. Begitulah keadaannya.





Mesjid Ulele


Ulele, dekat jembatan ke arah barat laut, Januari 2005


Ulele, dekat jembatan ke arah timur, Januari 2005


Pungee Blang Cot, Januari 2005. Tongkang Generator PLN (PLTD Apung), dengan cerobong hitamnya di kejauhan. Lihat ukuran manusia yang berdiri diatasnya.